Sabtu, 12 Februari 2011

PEMERIKSAAN FISIK HEWAN EKSOTIK

LEARNING OBJECTIVE
  1. HANDLING DAN RESTRAIN HEWAN EKSOTIK (ULAR & KURA-KURA)
  2. PEMERIKSAAN FISIK HEWAN EKSOTIK (ULAR & KURA-KURA)
  3. JENIS-JENIS ANESTESI

Handling dan Restrain Hewan Eksotik (Ular & Kura-Kura)
Handling ular harus mengetahui beberapa prinsip:
Ukuran panjang
Manusia dewasa sendirian dan "dalam keadaan terpaksa" masih mampu handling phyton dengan panjang maksimal 3 meter. Lebih panjang dari itu akan kesulitan karena tenaga dan serangannya lebih berbahaya. perkirakan aja panjangnya.
Agresifitas si ular
Karakter ular berbeda beda, bahkan meski itu sama sama ular reticulatus tapi sifat amarahnya berbeda satu dengan yang laen. Dengan memahami karakter si ular yang akan kita handling, kita akan lebih berhati hati melakukan proses penanganan dengan aman.
Posisi dan lokasi
Cek posisi kita dan liat sekeliling kita. Perlu luasan tanah yang cukup untuk handling ular besar. Kanan kiri harus aman, jangan ada orang lain yang justru akan terancam saat kita handling ular. Setelah itu mulailah dari memegang ekor untuk mengendalikan ular. Pegang ekor jangan terlalu ujung, tapi agak maju setelah kloaka, biarkan separo badan ke arah kepala tetap melata di tanah. Jangan berusaha di angkat. Pemegang ekor selalu berada di belakang arah kepala artinya hindari berhadapan langsung dengan pandangan depan ular.

Ular cenderung akan memberontak, berusaha melepaskan dirinya dengan jalan:
  1. mengeluarkan kotoran
  2. memutar badan nya
  3. menarik ke depan.
Snake Handler perorangan bisa menggunakan alat atau tanpa alat. Jika tanpa alat, maka yang di andalkan adalah kemampuan membaca kondisi ular dan ketepatan memegang, selain tentu saja keberanian yang terlatih. Menggunakan alat cenderug lebih aman dan tidak beresiko terhadap diri sendiri. Disarankan untuk handling ular besar minimal 2 orang, 1 orang memegang ekor, dan satu orang berusaha pegang kepalanya.
Jika menggunakan alat, selain pake bambu besar untuk menekan kepalanya, bisa juga dengan teknik matador, menutup dulu mata ular dengan kain baru di tangkap. Setelah kepala tertangkap, hati-hati terhadap belitannya, si ular pasti akan membelit. Berikan hanya satu tangan saja jika dia membelit, jangan sampai kedua tangan kita terbelit bersamaan. Begitu juga dengan kaki. Jika memang akan dibelit, kaish satu kaki saja. Jangan kedua kaki sampai kebelit agar kita masih tetap pasang kuda-kuda dan tidak terbanting ke tanah. Upayakan segera si kepala ular masuk kedalam kantong. setelah didalam kantong, lepaskan belitannya. Proses ini akan membutuhkan ketenangan dan tenaga ekstra karena jika salah membuka belitan, tulang ular akan patah. Buka belitan dari ekor keluar lingkaran, bukan dari kepala. Pastikan pegangan di kepala tidak kencang dan juga tidak terlalu kendor agar tak terlepas. Setelah ular aman di kantong, bawa dan lepaskan kembali ke lingkungan yang jauh dari pemukiman (Anonim., 2009).


Pemeriksaan Fisik Hewan Eksotik (Ular & Kura-Kura)
  1. Registrasi pasien; nama pemilik, alamat, nomor telepon, jenis satwa, nama satwa dan signalement (breed, sex, age, specific pattern)
  2. Anamnesa, terbagi menjadi prehistory
  3. Handling dan restrain, lakukan inspeksi jarak jauh dan dekat. Ular yang sehat mempunyai kulit lentur, muskulus penuh dan apabila ular sakit akan cenderung diam atau menjadi agresif karena kesakitan. Kura-kura yang sehat matanya bersinar, karapas dan plastron normal dengan ekstremitas, jari dan kuku yang normal, sedangkan kura-kura yang sakit akan diam, kepala masuk shell atau terkulai, mata tertututp dan malas bergerak.
  4. Frekuensi nafas dan pulsus: Frekuensi nafas ular dapat dilihat pada 1/3 – ½ panjang tubuhnya. Pada kura-kura dapat diketahui dengan cara memperhatikan lipatan kulit diantara karapas/plastron dan kaki depan serta belakan. Frekuensi pulsus ular dihitung langsung dari jantung secara palpasi maupun auskultasi. Sedangkan pada kura-kura yang tertutup oleh shell dapat dilakukan pada jantung dan arteri femoralis tetapi sulit untuk dilakukan
  5. Kulit dan rambut. Palpasi dilakukan pada tubuh reptile, reptil yang sehat mempunyai turgor kulit yang baik (kura-kura tidak dapat diukur tingkat turgor kulitnya), bersih dan mengkilat
  6. Selaput lendir. Gingiva reptil berwarna pink pucat sampai putih, beberapa ular berwarna hitam dan coklat kehitaman pada beberapa spesies kura-kura
  7. Sistem Pernafasan. Inspeksi dilakukan untuk melihat melihat lubang hidung, glottis, dan paru-paru saat bernafas. Pada reptil sehat akan terdenga suara vesikuler
  8. Sistem Peredaran darah. Pemeriksaan dilakukan dengan melakukan auskultasi jantung. Dan untuk pengambilan sampel darah pada ular dilakukan pengambilan pada v. cogcygeal ventralis, palatina dorsalis, dan intracardial. Sedangkan pada kura-kura dilakukan pada v. femoralis, v. brachialis, saccus nuchalis, dan intrakardia
  9. Sistem pencernaan. Inspeksi mulut, rongga mulut dan gigi dilakukan untuk melihat adanya abnormalitas, palpasi lambung, usus, kolon, dan rektum pada ular tapi pada kura-kura tidak dapat dilakukan
  10. Sistem kelamin dan perkencingan. Sexing reptile dapat dilakukan melalui 3 cara yaitu; visual/inspeksi, popping dan probing
  11. Sistem syaraf dan anggota gerak. Dilakukan pemeriksaan tonus otot, gerak kepala, ekstremitas, dan seringnya menjulurkan lidah
  12. Pemeriksaan laboratorium. Terutama pemeriksaan sampel darah, feses, dan ektoparasit
  13. Diagnosa, prognosa, dan terapi (Boddie., 1962).

Jenis-Jenis Anestesi
Anestesi merupakan obat yang menyebabkan hilangnya perasaan. Anesthesia artinya hilangnya perasaan (Anief., 1995).
Anestesi terdiri dari 2 jenis:
a. Anestesi umum
Contoh: Chloroform, Aether, Halothanum.
b. Anestesi lokal
Contoh: Aethylis Aminobenzoas, Aethylis Chloridum, Chlorbutanolum, Cocaini Hydrochloridum, Lidocaini Hydrochloridum, Procaini Hydrochloricum, dan Tetracaini Hydrochloridum (Anief., 1995).
Pada anestesi umum terjadi kehilangan segala modalitas perasaan dan kesadaran. Sedangkan pada anestesi lokal hanya terjadi kehilangan sensibilitas setempat, tanpa hilangnya kesadaran. Pada anestesi umum terjadi hambatan susunan syaraf pusat (SSP) dan pada anestesi lokal terjadi hambatan susunan syaraf perifer dan impuls tidak diteruskan ke otak (Anief., 1995).
Anestesi umum ialah obat yang menekan syaraf pusat (secara reversibel) sehingga menyebabkan kehilangan kesadaran, rasa sakit dan seluruh perasaan.

Stadia anestesi, dibagi jadi 3 yaitu:
Stadia I : Stadia analgesi
Penderita mengantuk tapi masih sadar. Rasa sakit berkurang dan pada akhir stadium hilang
Stadia II : Stadium eksitasi
Timbul gejala-gejala eksitasi, pupil dilatasi, nadi cepat dan kuat, respirasi tak teratur, gerak bola mata berlebihan
Stadia 3 : Stadia anestesi = stadium sirurgi (Anief., 1995).



DAFTAR PUSTAKA

Anonim., 2009. http://ajisioux.blogspot.com/

Anief., M. 1995. Prinsip Umum dan Dasar Farmakologi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Boddie., G.F. 1962. Diagnostic Methods in Veterinary Medicine. Philadelphia: J.B. Lippincott Company

http://www.snakehandler.com.au/?pid=main&p=58

http://www.geocities.com/capecanaveral/hangar/2437/pin.html

PEMERIKSAAN FISIK PADA BURUNG

LEARNING OBJECTIVE
  1. CARA PEMERIKSAAN FISIK PADA BURUNG
  2. PATOLOGI ANATOMI SISTEM PERNAFASAN
Cara Pemeriksaan Fisik pada Burung
Pemeriksaan umum
Pertama yang perlu diperhatikan adalah jarak sewaktu mengamati, karena burung akan merasa terganggu dengan kedatangan manusia secara tiba-tiba. Hal yang dapat diamati adalah: Posturnya; termasuk dalam burung yang besar atau kecil, ekot keatas atau kebawah, posisi sayap terkulai atau keatas, posisi dari kaki dan jari jemarinya, keadaan kepala, menghadap kebelakang atau kedepan, mata dan paruhnya membuka atau menutup. Frekuensi nafas dan cara bernafas alaminya. Kestabilan dalam berkicau, berdiri dengan dua kaki arau menekuk salah satu kaki, berdiri tegap atau kehilangan keseimbangan dikarenakan kelemahan tubuhnya atau gangguan dari system saraf (Arnall. 1975).
Warna dari bulunya, mengkilap, kusam, atau rontok. Penampakan dari kulitnya yang mungkin dapat terlihat. Berbagai macam fariasi dari kontur tubuhnya, seperti bengkak atau anomaly lainnya. Tanda-tanda ketidak simetrisan, seperti salah satu sayapnya terkulai, kakinya diangkat, bulu-bulu primer maupun sekundernya patah. Selain itu perlu juga pengamatan lingkungan sekitarnya, seperti makanan dan minumannya dan juga kotoran yang dikeluarkan.
  • Suhu : 40- 41 C (merpati)
  • Pulsus : 180- 250 beats per minute (merpati)
  • Nafas : 25- 30 breaths per minute (merpati) (Meredith and Redrobe, 2002).
Pemeriksaan Fisik:
Menurut letaknya, bulu aves dibedakan menjadi:
  • Tectrices, bulu yang menutupi badan
  • Rectrices, bulu yang berada pada pangkal ekor, vexilumnya simetris dan berfungsi sebagai kemudi
  • Remiges, bulu pada sayap yang dibagi lagi menjadi:
  1. Remiges primarie yang melekatnya secara digital pada digiti dan secara metacarpal pada metacarpalia
  2. Remiges secundarien yang melekatnya secara cubital pada radial ulna
  3. Remiges tertier yang terletak paling dalam nampak sebagai kelanjutan sekunder daerah siku
  • Parapterum, bulu yang menutupi daerah bahu
  • Ala spuria, bulu kecil yang menempel pada ibu jari (Saputra., W. 2009).
Sistem Pencernaan Makanan
Paruh; bagian mulut diperiksa adakah lesi seperti lidah abses atau plak fungi. Oesofagus dan Tembolok; esophagus berada di sebelah kanan dari leher, bentuknya berlipat- lipat pada banyak spesies untuk membawa makanan. Beri pakan untuk melihat nafsu dan cara penelanan dari esophagus ke tembolok. Palpasi tembolok adakah kebengkakan, impaction, benda asing atau masalah lain. Tembolok tidak dimiliki oleh burung hantu dan penguin. Abdomen lambung dibagi menjadi proventrikulus (berupa glandula) dan ventrikulus atau gizzard (berupa otot). Palpasi abdomen untuk mengetahui massa di dalamnnya (Meredith and Redrobe, 2002).

Sistem Pernapasan
Pemeriksaan system respirasi bagian atas, meliputi lubang hidung, larynk dan trakhea yang berbentuk cincin-cincin. Trachea terbagi di syrink. Vokalisasi diproduksi utama di syrink. Dengan radiografi dapat mengetahui adanya perubahan diameter trachea atau obstruksi jaringan halus pada syrink.Burung tidak memiliki diafragma. Udara yang masuk keluar paru- paru lalu masuk ke airsac. Ada 8 airsac, yaitu 1 cervical. 1 clavicular, 2 cranial thorac. 2 caudal thorac dan 2 abdominal.
Auskultasi paru- paru pada bagian dorsal tubuh, adanya suara abnormal seperti gesekan pleura, suara memudar atau suara yang tumpul. Lokasi lesi susah ditentukan, butuh bantuan radiografi (Meredith and Redrobe, 2002).

Sistem Sirkulasi
Auskultasi bagian ventral bagian dada untuk mendengarkan detak jantung.

Sistem Syaraf
Sistem saraf burung berupa otak dan sum-sum tulang belakang pada burung. Otak besar dan otak kecil berkembang dengan baik. Permukaan otak kecil berkembang dengan baik. Permukaan otak kecil berlipat-lipat sehingga permukaannya semakin luas. Hal tersebut menyebabkan burung memiliki keseimbangan yang cukup baik.
Burung mempunyai pusat penglihatan yang sangat besar. Pusat penglihatan ini merupakan pelebaran dari otak bagian tengah yang membentuk dua gelembung. Pusat pembau berukuran kecil sehingga indera pembau tidak berkembang dengan sempurna.
Burung memiliki indra penglihatan yang sangat baik. Susunan matanya sama seperti mata manusia. Retina mata burung mempunyai dua macam sel penerima cahaya yaitu sel batang dan sel kerucut.
Sel Batang
Sel batang peka terhadap rangsang cahaya lemah.Pada burung malam,misalnya burung hantu,retina mata mengandung banyak sel batang.Banyaknya sel batang mengakibatkan burung hantu dapat melihat dengan baikditempat gelap (malam hari).Sebaliknya,pada siang hari burung hantu tidak dapat melihat dengan baik.
Sel Kerucut
Sel kerucut bersifat peka terhadap cahaya yang kuat.Burung yang aktivitasnya pada siang hari,misalnya perkutut dan merpati,matanya memiliki banyak sel kerucut.
Lensa mata pada burung mempunyai kemampuan mencembung dan memipih (berakomodasi) dengan baik.
Indra pembau pada burung tidak berkembang. Indra pembau (hidung) burung jarang digunakan, bahkan hampir tidak pernah digunakan.
Indra pendengaran pada burung berkembang dengan baik. Terbukti burung dapat membedakan bermacam-macam kicauan (Saputra., W. 2009).

Sistem Reproduksi
Organ reproduksi pada burung jantan meliputi:
  • Vasdeverens : Tempat menyalurkan sperma
  • Ureter : Saluran kelamin menuju kloaka
  • Kloaka : Saluran kelamin
  • Testis : Alat untuk memproduksi sperma dan hormon kelamin.
Organ reproduksi pada burung betina meliputi:
  • Ovarium : Tempat menghasilkan ovum
  • Oviduk : Tempat berlangsungnya fertilisasi
  • Kloaka : Tempat masuknya sperma jantan dan mengeluarkan telur.
Fungsi bagian-bagian telur aves:
  • Titik embrio : bagian yang akan berkembang menjandi embrio
  • Kuning telur : cadangan makanan embrio
  • Kalaza : menjaga goncangan embrio
  • Putih telur : menjaga embrio dari goncangan
  • Rongga udara : cadangan oksigen bagi embrio (Saputra., W. 2009).
Jantan; memiliki testes yang aktif, pada beberapa burung testis kanan lebih kecil dari yang kiri. Tidak memiliki kelenjar aksesori. Pada ostrich dan bebek memiliki penis erektil. Betina; biasanya hanya sisi kiri yang berkembang. Pemeriksaan cloaca sebagai tempat pengeluaran feses, urin dan merupakan saluran genita. Pemeriksaan vertebrae, pada angsa memiliki 25 buah, pada kebanyakan sekitar 14- 15 buah. Semua burung dapat memutar kepalanya 180 derajat. Vertebrae caudal adalah yang paling lentur. Dan rongga thorax apakah tidak terdapat permasalahan, demikian pula pada perlekatan sternum.
Sayap: tulang- tulang sayap terdiri dari os humerus, os radius dan os ulna, serta tulang- tulang complex yaitu manus. Manus mengalami reduksi dan hanya ada 2 os carpal dan metacarpal. Juga memiliki 3 digiti. Pemeriksaan lanjutan pada perlekatan sayap otot utama pada sternum juga otot pada bahu (Meredith and Redrobe, 2002).

Sistem Ekskresi
Alat ekskresi pada burung terdiri dari ginjal (metanefros), paru-paru, dan kulit. Burung memiliki sepasang ginjal yang berwarna cokelat. Saluran ekskresi terdiri dari ginjal yang menyatu dengan saluran kelamin pada bagian akhir usus (kloaka).
Burung mengekskresikan zat berupa asam urat dan garam. Kelebihan larutan gram akan mengalir ke rongga hidung dan keluar melalui nares (lubang hidung). Burung hampir tidak memiliki kelenjar kulit, tetapi memiliki kelenjar minyak yang terdapat pada tunggingnya. Kelenjar minyak berguna untuk meminyaki bulu-bulunya (Saputra., W. 2009).


Patologi Anatomi Sistem Pernafasan
Mucus (lendir)
Burung yang mengalami infeksi pernapasan akan terlihat lendir berwarna putih kental. Sebetulnya lendir ini tidak diproduksi di tenggorokan tapi di organ struktur pernapasan seperti di "trachea".
Pada burung yang sehat, membran mucus akan berwarna pink muda. Apabila berwarna berwarna putih/pucat menunjukkan burung mengalami enemia (kekurangan sel darah merah) atau tekanan darah terlalu rendah. Membran juga akan berdenyut teratur sejalan dengan denyut jantung.
Burung yg membrannya berwarna kebiru-biruan menunjukkan ada infeksi saluran pernapasan. Tapi kadang-kadang ada juga pigmen membran dilangit-langit memang berwarna agak kebiruan. Jadi kita harus tau juga warna pigmen pada langit2 (membran).
Bentuk Windpipe (pipa udara)
Pipa udara pada burung sehat akan berbentuk agak lonjong dengan sudut agak runcing dibagian atas serta ada gerigi halus disekitarnya . Apabila burung mengalami kesulitan bernafas maka otot pada pipa udara akan berkontraksi sehingga lubang pipa udara berbentuk bulat. Semakin bentuknya bulat, mengindikasikan burung mengalami gangguan pernapasan.
Sinus
Pada tengkorak burung ada lubang2 halus yg disebut sinus yg berhubungan dengan sistem pernapasan. Apabila burung mengalami infeksi saluran pernapasan, maka lubang sinus akan tertutup dan akibatnya akan terjadi penggumpalan cairan pada kelopak mata. Karena gravitasi maka cairan akan turun kebawah dan membasahi kelopak mata bagian bawah.
Ceres (Bagian Hidung yg Berwarna putih)
Burung yang sehat akan memproduksi serbuk berwarna putih yg menutupi hidung dan pelupuk mata (eyelids). Apabila burung mengalami infeksi saluran pernapasan maka produksi serbuk putih akan terhenti sehingga warna hidung menjadi kusam (tidak putih bersih) dan kotor.
Mata.
Burung yang sehat akan memperlihatan mata yg bersinar dan reaktif terhadap rangsangan cahaya, Apabila mata burung mulai kelihatan layu dan warna iris yg pucat mengindikasikan ada gangguan kesehatan (Anonim., 2009).



DAFTAR PUSTAKA

Anonim., 2009. Early Warning. http://merpati.forumotion.net/pengobatan-f17/early-warning-t324.htm. 23/6/2009 8:07:24 PM

Meredith., A.; Redrobe., S. 2002. BSAVA Manual of Exotic Pets Fourth Edition. Spain: Garfos

Saputra., W. 2009. Klasifikasi Burung Perkutut. http://sainsilmualam.blogspot.com/2009/02/klasifikasi-burung-perkutut_02.html. 23/6/2009 8:07:24 PM. 2009

JENIS-JENIS KOLIK PADA KUDA

LEARNING OBJECTIVE
  1. PENGERTIAN KOLIK DAN JENIS-JENIS KOLIK PADA KUDA
  2. PENGERTIAN ANALGETIKA DAN JENIS-JENIS OBAT ANALGETIKA
  3. PEMERIKSAAN SISTEM UROPOETICA

Pengertian Kolik dan Jenis-Jenis Kolik Pada Kuda
Kolik adalah rasa sakit di daerah perut, baik yang berasal dari alat pencernaan maupun bukan, yang di tandai kegelisahan, kesakitan, dan secara langsung dengan gangguan peredaran darah dan segala manifestasinya (Subronto., 2003).
Kuda mudah menderita kolik karena kekhususan alat pencernaan kuda, seperti:
  1. Lambung kuda relative kecil
  2. Pylorus kuda letaknya “terjepit” di antara kolon dorsal dan ventral
  3. Kolon dorsal dan ventral tergantung longgar pada mesenterium yang panjang hingga mudah mengalami pemutaran atau perubahan letak anatomis
  4. Kuda memiliki saluran pencernaan yang panjang, sedang ukuran rongga perut relative sempit
  5. Kerongkongan yang panjang terletak miring dan “terjepit”, tidak memudahkan proses muntah
  6. Kuda termasuk spesies mamalia yang tidak tahan terhadap sensasi sakit, hingga memudahkan terjadinya kolik (Subronto., 2003).
Klasifikasi kolik
  1. Berdasarkan asal penyebab rasa sakit kolik; terdiri dari kolik sejati, simtomatik, dan kolik palsu. Pada kolik sejati asal penyebab rasa sakit yang terdapat di dalam saluran pencernaan, misalnya usus, lambung, hati, dan sebagainya. Pada kolik palsu, penyebabnya terdapat dalam alat-alat di luar sistem pencernaan makanan, misalnya ginjal, rahim, dan saluran kemih. Kolik dikatakan sebagai kolik simtomatik bila kolik tersebut hanya merupakan gejala ikutan dari penyakit lain, misalnya anemia infeksiosa, dan ingus tenang.
  2. Berdasarkan patofisiologisnya, kolik dibedakan ke dalam kolik spasmodik, kolik konstipasi, kolik timpani, kolik obstruksi, kolik lambung, dan kolik trombo-emboli (verminous colic)
  3. Berdasarkan jalannya penyakit di kenal kolik-kolik yang berlangsung secara sub-akut, akut dan rekuren (atau kronik). Kronik rekuren berlangsung secara berulang-ulang tergantung pada perjalanan penyakit primernya
  4. Berdasarkan cara penanganan kolik dikenal kolik sederhana, atau kolik non-operatif, yang penanganannya cukup dengan pengobatan medicinal, dan kolik operatif, atau surgical kolik, yang untuk kesembuhannya diperlukan tindakan operasi (Subronto., 2003).
Berikut ini, merupakan klasifikasi gangguan pencernaan makanan berdasarkan perubahan patofisiologis alat pencernaan makanan:

Kolik Konstipasi (Impaksio Kolon)
Kolik konstipasi merupakan kolik yang ditandai dengan rasa sakit perut dengan derajat sedang, anoreksia, depresi serta adanya konstipasi.
Kasus terjadi karena kurang pakan, kurangnya jumlah air yang diminum, kelelahan setelah pengangkutan, keadaan gigi yang tidak baik, setelah sakit ataupun operasi, setelah pengobatan cacing, dan pada anak-anak kuda yang baru saja dilahirkan karena retensi tahi gagak (mukonum) (Subronto., 2003).

Kolik Spasmodik (Enteralgia Kataralis)
Kolik spasmodik adalah kolik akut, disertai rasa mulas yang biasanya berlangsung tidak lama, akan tetapi terjadi secara berulang kali. Rasa mulas ditimbulkan oleh kenaikan peristaltik usus dan spasmus hingga mengakibatkan tergencetnya syaraf. Kenaikan peristaltik akan menyebabkan terjadinya diare. Kolik dapat terjadi karena pemberian pakan yang kasar yang sulit dicernakan. Juga penggantian pakan yang dilakukan mendadak dan kuda-kuda yang baru saja diberi makan kenyang segera dipekerjakan lagi (Subronto., 2003).

Kolik Timpani (Flatulent Colic)
Kolik timpani merupakan kolik yang disertai timbunan gas yang berlebihan di dalam kolon dan sekum. Pembebasan gas terhalang oleh obstruksi atau oleh perubahan lain dari saluran pencernaan. Oleh cepatnya pembentukan gas proses kolik berlangsung secara akut, yang kadang-kadang terjadi secara berulang, dan mengakibatkan rasa sakit yang sangat. Kolik timpani dapat terjadi akibat konsumsi pakan yang mudah mengalami fermentasi, atau oleh factor lain yang menyebabkan turunnya peristaltic (Subronto., 2003).

Kolik Sumbatan (Kolik Obstruksi)
Kolik obstruksi merupakan kolik yang timbul akibat terhalangnya ingesta di dalam usus, oleh adanya batu usus (enterolith, fecalith, coprolith), atau bnagunan bola-bola serat kasar (phytobezoar). Timbunan serat kasar dapat diakibatkan karena perubahan anatomi usus, seperti invaginasi, volvulus, dan strangulasi. Kolik obstruksi ditandai dengan adanya rasa sakit yang berlangsung secara progresif, terentinya secara total pasasi tinja di dalam saluran pencernaan, penurunan kondisi dan gejala autointoksikasi.
Kolik obstruksi terjadi oleh adnaya sumbatan yang terjadi karena pemberian bahan makanan yang kasar dan kurangnya air yang diminum. Karena pakan hijauan yang tercampur dengan tanah (Subronto., 2003).

Kolik Lambung (Distensi Lambung)
Kolik lambung adalah kolik yang biasanya berlangsung secara akut, yang terjadi sebagai akibat meningkatnya volume lambung yang berlebihan. Kolik ditandai dengan ketidaktenangan, anoreksia total, rasa sakit yang mendadak atau sedikit demi sedikit, dan muntah. Dalam kedaan lebih lanjut gejala kelesuan dan shock terlihat lebih dominan (Subronto., 2003).

Kolik Trombo-Emboli (Arteritis mesenterica verminosa, Aneurisma verminosa)
Kolik trombo-emboli terjadi karena gangguan aliran darah ke dalam segmen usus, sebagai akibat terbentuknya simpul-simpul arteri oleh migrasi larva cacing Strongylus vulgaris. Terbendungnya saluran darah oleh thrombus dan embolus mengakibatkan terjadinya kolik spasmodik yang rekuren, sedangkan atoni segmen usus mengakibatkan terjadinya kolik konstipasi (Subronto., 2003).


Pengertian Analgetika dan Jenis-Jenis Obat Analgetika

Analgetika adalah senyawa yang dalam dosis terapoetik menekan rasa nyeri, tanpa memiliki kerja anestesi umum. Berdasarkan potensi kerja, mekanisme kerja dan efek samping analgetika dibedak dalam 2 kelompok:

Analgetika yang berkhasiat kuat
Bekerja pada saraf pusat (hipoanalgetika, kelompok Opiat)
Analgetika yang berkhasiat lemah (sampai sedang)
Bekerja terutama pada saraf perifer dengan bersifat antipiretika dan kebanyakan juga sifat antiinflamasi dan antireumatik (Mutschler, 1991).

Analgetika yang berkhasiat kuat
a. Kerja pada Pusat Hipoanalgetika:
  • Menurunkan rasa nyeri dengan cara stimulasi reseprot opiate (kerja analgetika)
  • Sebaliknya tidak mempengaruhi kualitas indra lain pada dosis terapi
  • Mengurangi aktivitas kejiwaan (kerja sedasi)
  • Meniadakan rasa takut dan rasa bermasalah (kerja transkuilansia)
  • Menghambat pusat pernafasan dan pusat batuk (kerja depresi pernafasan dan kerja antitusiva)
  • Seringkali mula- mula menyebabkan mual dan muntah akibat stimulasi pusat muntah (kerja emetika), selanjutnya menyebabkan inhibisi pusat muntah (kerja antiemetika)
  • Menimbulkan miosis (kerja miotika)
  • Meningkatkan pembebasan ADH (kerja antidiuretika)
  • Pada pemakaian berulang kebanyaka menyebabkan terjadinya toleransi dan juga ketergantungan (Mutschler, 1991).
b. Kerja Perifer Opiat
  • Memperlambat pengosongan lambung dengan mengkonstriksi pylorus
  • Mengurangi motilitas dan meningkatkan tonus saluran cerna (obstipasi spastic)
  • Mengkontraksi spingter dalam saluran empedu
  • Meningkatkan tonus otot kandung kemih dan juga otot spingter kandung kemih mengurangi tonus pembuluh darah dengan bahaya reaksi ortostatik
  • Menimbulkan pemerahan kulit, urtikaria, rangsang gatal, serta pada penderita asma suatu bronkhospasmus, akibat pembebasan histamine (Mutschler, 1991).
Analgetika kuat diindikasi pada kondisi nyeri yang sangat kuat yang jika tidak, tak cukup untuk dipengaruhi. Disini termasuk terutama nyeri akibat kecelakaan, nyeri setelah operasi dan nyeri tumor. Efek samping yang tak diinginkan yang terpenting adalah ketergantungan psikis dan ketergantungan fisik serta perkembangan toleransi pada pemberian dalam waktu jangka panjang. Karena itu, pada kasus yang penyembuhannya tidak dapat diperhitungkan lagi, opiat harus diberikan dalam dosis serendah mungkin dan sesingkat mungkin (Mutschler, 1991).
Jenis- jenisnya antara lain: opium, morfin, heroin, petidin, metadon, pentazosin, nefopam dan lain- lain (Mutschler, 1991).

Analgetika yang berkhasiat lemah (sampai sedang)
Di samping kerja analgetika, senyawa- senyawa ini menunjukkan kerja antipiretika dan juga komponen kerja antiflogistika dengan kekecualian turunan asetilanida. Sebaliknya senyawa- senyawa ini tidak mempunyai sifat- sifat psikotropik dan sifat sedasi dari hipoanalgetika (Mutschler, 1991).
Analgetika yang berkhasiat lemah diindikasi pada nyeri ringan samapi sedang (misalnya sakit kepala dan sakit gigi), migraine, kondisi demam, dan sejauh senyawa tersebut mempunyai komponen kerja antiflogistik, maka dipakai pula pada penyakit- penyakit yang disertai radang, khususnya pada penyakit reumatik yang disertai radang (Mutschler, 1991).
Jenis- jenisnya antara lain: turunan asam salisiat,, turunan alinin, turunan asam antranilat, turunan pirazol dan lain- lain (Mutschler, 1991).

Obat Analgetik Narkotik
Merupakan kelompok obat yang memiliki sifat opium atau morfin. Meskipun memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain, golongan obat ini terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri yang hebat. Meskipun terbilang ampuh, jenis obat ini umumnya dapat menimbulkan ketergantungan pada pemakai. Obat Analgetik Narkotik ini biasanya khusus digunakan untuk mengahalau rasa nyeri hebat, seperti pada kasus patah tulang dan penyakit kanker kronik.
Contohnya antara lain morfin,metadon,meperidin(petidin),fentanil,buprenorfin,dezosin, butorfanol,nalbufin,nalorfin dan juga pentazosin (Mutschler,1991).

Obat Analgesik Non-Nakotik
Penggunaan Obat Analgetik Non-Narkotik atau Obat Analgesik Perifer ini cenderung mampu menghilangkan atau meringankan rasa sakit tanpa berpengaruh pada sistem susunan saraf pusat atau bahkan hingga efek menurunkan tingkat kesadaran. Obat Analgetik Non-Narkotik / Obat Analgesik Perifer ini juga tidak mengakibatkan efek ketagihan pada pengguna (berbeda halnya dengan penggunanaan Obat Analgetika jenis Analgetik Narkotik). Contohnya natara lain derivat asam salisilat (aspirin), derivate paraaminofenol (parasetamol),derivat propionate (ibu profen, ketoprofen,naproksen), derivate asam fenamat (asam mefenamat) (Mutschler,1991).


Pemeriksaan Sistem Uropoetica
Perhatikan sikap pada waktu kencing. Amati air seni (kemih) yang keluar, perhatikan warnanya, baunya dan adanya anomali (darah, jonjot, kekeruhan dan lain sebagainya).
Ginjal hewan besar hanya teraba pada hewan yang tidak terlalu besar dan tangan cukup panjang, lewat rektum. Perhatikan reaksi, besar, konsistensi dan simetrinya.
Vesica urinaria; palpasi lewat rectum, tekan tangan agak ke bawah. Lakukan seperti pada hewan kecil, kosongkan dengan kateter, palpasi pada keadaan kosong dari kemih, raba kemungkinan adanya benda asing (batu, tumbuh ganda) atau adanya pembengkakan/penebalan dinding vesica urinaria.
Kateterisasi/pengambilan urin; ambil kateter sesuai dengan kelamin dan besar hewan. Kateter dimasukkan secara legeartis (kateter steril, dengan lubricant yang steril, tidak megiritasi dan mengandung antiseptika).
Pemeriksaan urin; pemeriksaan fisik, perhatikan air kemih yang telah di tamping, perhatikan warna, kekentalan, adanya benda-benda yang mencurigakan dan bau. Pemeriksaan laboratorium, minimal harus dilakukan pemeriksaan protein, pH, dan endapan, bila perlu ambil darahnya untuk pemeriksaaan urea (BUN; blood urea nitrogen) dan kreatinin (Boddie. 1962).


DAFTAR PUSTAKA

Anonim., 2009. http://farmakologi-pharmacology.blogspot.com/2008/11/obat-analgetik-berdasarkan-ilmu.html

Boddie., G.F. 1962. Diagnostic Methods in Veterinary Medicine. Philadelphia: J.B. Lippincott Company.

Mutschler, Ernst. 1991. Dinamika Obat. Bandung: Penerbit ITB

Subronto., 2003. Ilmu Penyakit Ternak I. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

PEMERIKSAAN FISIK SAPI

LEARNING OBJECTIVE
1. PEMERIKSAAN FISIK PADA SAPI
  • ABNORMALITAS SISTEM PENCERNAAN, RESPIRASI, & SISTEM REPRODUKSI

Pemeriksaan Fisik Pada Sapi
Abnormalitas Sistem Pencernaan
Berikan pakan/minum untuk melihat nafsu makan dan minum. Perhatikan juga keadaan abdomen dan bandingkan sebelah kanan dan kiri. Amati mulut, dubur, kulit sekitar dubur dan kaki belakang. Terus perhatikan cara defekasi dan amati tinjanya. Perhatikan pula cara memamahbiaknya (ruminasi).
Mulut, Pharynx, dan Oesophagus; Buka mulut sapi dengan memegang tali hidung/cuping dengan tangan kiri, lalu masukkan tangan kanan ke spatium interalveolar, kemudian lakukan inspeksi. Perhatikan bau, mulut, selaput lendir mulut, pharynx, lidah, gusi, dan gigi-geligih. Perhatikan kemungkinan adanya lesi, benda asing, perubahan warna, dan anomali lainnya. Perhatikan pula limfoglandula regional dan kelenjar ludah. Palpasi oesophagus dari luar sebelah kiri dan raba pharynx dari luar (Boddie. 1962).
Rumen; Lakukan pemeriksaan secara inspeksi, palpasi (dengan tinju), auskultasi, perkusi dan eksplorasi rectal. Bandingkan abdomen kiri dan kanan, perhatikan fossa paralumbalis pada saat inspeksi. Lakukanlah palpasi dan auskultasi hitung frekuensi gerak rumen per 5 menit dan kekuatan geraknya (tonus rumen) normal pada sapi 5-10x/5 menit. Lakukan perkusi pada dinding abdomen sebelah kiri, perhatikan suara masing-masing bagian (Boddie. 1962).
Reticulum; Lakukan asukultasi pada sambungan kostokondral rusuk no.7 sebelah kiri, perhatikan suara aliran ingesta cair lewat sulcus rumino reticularis dari reticulum dan sebaliknya.
Omasum dan Abomasum; Omasum praktis tidak dapat diperiksa secara fisik, hal ini karena letak anatomiknya yang tak dapat dijangkau, sehingga diagnose hanya dapat dilakukan secara tidak langsung. Sebagian dinding abomasum menempel pada dinding perut bawah , sebelah kanan belakang dari proc. xiphoideus. Lakukan perkusi di daerah ini, bila lambung terisi gas akan terdengar resonansi atau suara pekak bila terjadi impaction.
Usus, Rectum, dan Anus; Lakukan auskultasi di daerah abdomen sebelah kanan. Dengarkan peristaltic usus, dan bagaimana kekuatan peristaltik.untuk pemeriksaan rectum, lakukanlah pemeriksaan daerah rectal, sedangkan anus diinspeksi dan palpasi dari luar.
Kembung rumen merupakan bentuk indigesti akut yang disertai dengan penimbunan gas di dalam lambung-lambung muka ruminansia. Kembung dapat terjadi secara primer maupun sekunder. Gas yang tertimbun mungkin dapat terpisah dari isi lambung disebut free gas bloat atau terperangkap di antara ingesta di dalam rumen maupun reticulum dalam gelembung-gelembung kecil yang disebut frothly bloat.
Dalam faktor pakan diketahui ada beberapa hal yang dapat membuat sapi kembung seperti; tanaman leguminose misalnya Alfalfa 108, Ladino 100, tanaman yang muda juga sering mengakibatkan kembung dibanding tanaman yang tua. Bijian-bijian yang digiling sampai halus lebih sering menimbulkan gangguan daripada tanaman yang diberikan secara utuh. Imbangan antara pakan hijauan dengan konsentrat sangat berlebihan, cenderung mengakibatkan kembung. Tanaman yang dipanen dari padangan yang dipupuk dengan urea terbukti juga mudah menyebabkan gangguan. Selain itu, tanaman yang banyak memanfaatkan unsur N, CU, dan Mg dalam jumlah tinggi akan mudah mendorong terjadinya kembung rumen. Tanaman yang dipanen sebelum berbungan atau sesudah turunnya hujan, terutama pada daerah yang kekurangan air sebelumnya, banyak mengakibatkan terjadinya kembung.disamping itu, diketahui beberapa tanaman yang memang potensial dalam menghasilkan getah atau bahan yang mudah menimbulkan busa di dalam rumen (Subronto., 2003).
Faktor-faktor yang mendorong terbentuknya busa meliputi viskositas dan tegangan muka cairan dalam rumen, aliran dan susunan air liur, dan kegiatan jasad renik di dalam rumen. Beberapa protein dapat menigkatkan viskositas dalam rumen. Air liur berfungsi sebagai buffer yang memelihara pH isi rumen dalam batas netral. Protein mucin berguna untuk mencegah membusanya air liur. Kuman streptokokus dapat meningkat bila di dalam rumen terdapat gula sucrose yang pemecahannya akan menghasilkan gas, dank arena adanya lender pada selubung tadi maka gas akan terperangkap di dalam ingesta (Subronto., 2003).

Abnormalitas Sistem Respirasi
Perhatikan adanya aksi-aksi atau pengeluaran seperti batuk, bersin hick-up, perhatikan frekuensi dan amati tipe nafasnya.
Hidung; Perhatikan keadaan hidung dan leleran yang keluar, raba suhu lokal dengan menempelkan jari tangan pada dinding luar hidung.
Pharynx, Larinx, Trakea; Lakukan palpasi dari luar, perhatikan reaksi dan suhunya, perhatikan pula limfoglaandula regional terutama limfoglandula submaxillaris, suprapharyngealis, dan parapharyngealis, perhatikan suhu, konsistensi, dan besarnya, banding kan anatara limfoglandula kanan dan kiri. Pada sapi pharynx dapat diraba melalui mulut.
Rongga dada; Tentukan daerah perkusi atau auskultasi paru-paru dan gambar di atas kertas dengan meletakkan garis batas depan sejajar vertikal, daerah kanan di sebelah kiri dan darah kiri di sebelah kanan ke atas, lakukan auskultasi dan perhatikan hasilnya, bandingkan dengan hasil auskultasi dengan trakea. Lukakan perkusi, dan perhatikan suara perkusi yang di hasilkan. Lakukan palpasi pada intercostae. Perhatikan adanya rasa nyeri pada pleura dan edeme subcutis (Boddie. 1962).
Dengan makin banyaknya gas yang terbentuk, volume rumen juga akan meningkat. Pendesakan rumen ke arah dada menyebabkan penderita mengalami kesulitan bernafas, hingga pernafasannya jadi frekuen, dangkal dan bersifat torakal (Subronto., 2003).

Abnormalitas Sistem Reproduksi
Bagian dalam terdiri atas ovarium, tuba uterin/oviduk, uterus, dan vagina sedangkan bagian luar tersusun atas vulva dan klitoris. Ovarium terletak di belakang ginjal yang menyerupai biji almond. Tuba uterine (tuba fallopi, salpinx atau oviduk) merupakan saluran yang berpasangan dan berkonvolusi berfungsi menghantarkan ova dari tiap ovari menuju ke tanduk uterus dan juga tempat terjadinya fertilisasi oleh spermatozoa. Bagian tuba uterine dekat dengan ovarium membentuk sebuah corong yang disebut infundibulum tubae uterine yang ujungnya membentuk fimbria berfungsi dalam ovulasi. Uterus khususnya mamalia terdiri dari korpus (badan), serviks (leher), dan dua tanduk, atau kornu. Serviks uterus mengarah ke kaudal menuju vagina merupakan sfingter otot polos yang kuat dan tertutup rapat, kecuali pada saat birahi atau kelahiran (Frandson,. 1996).
Vagina adalah saluran peranakan yang terletak di dalam pelvis antara uterus (cranial) dan vulva (caudal) berfungsi sebagai selaput yang menerima penis dari jantan pada saat kopulasi. Forniks vagina berbentuk lingkaran di sekitar serviks pada kuda dan juga bisa tidak ada sama sekali, dimana ujung caudal menyatu dengan vagina. Vulva (pudendum feminium) adalah bagian eksternal dari genitalia betina antara vagina sampai ke bagian luar (labium mayor dan minor). Pertautan antara vulva dan vagina ditandai oleh orifis uretra eksternal (Frandson,. 1996).
Umur dan berat pada saat pubertas dipengaruhi oleh faktor genetik. Pada umumnya, setiap faktor yang mengurangi kecepatan pertumbuhan akan menunda pubertas. Ada beberapa faktor yang dapat mengganggu terjadinya pubertas seperti; pemberian makanan yang telah direkomendasikan, temperatur lingkungan yang tinggi, serta kesehatan dan sanitasi yang kurang baik (Anonim., 2003/2004).

 
 
DAFTAR PUSTAKA

Anonim., 2003/2004. Fisiologi Reproduksi Ternak I. Bag. Reproduksi & Kebidanan. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Boddie., G.F. 1962. Diagnostic Methods in Veterinary Medicine. Philadelphia: J.B. Lippincott Company

Frandson,. R.D. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Subronto., 2003. Ilmu Penyakit Ternak I. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

PEMERIKSAAN KUCING

LEARNING OBJECTIVE
  1. PEMERIKSAAN FISIK PADA KUCING
  2. MACAM-MACAM EKTOPARASIT PADA KUCING
  3. DIAGNOSA TERHADAP EKTOPARASIT

Pemeriksaan Fisik Pada Kucing
Umum
Setelah dilakukan sinyalemen/registrasi dan anamnesa maka selanjutnya dilakukan pemeriksaan umum yang meliputi;
Inspeksi dan adspeksi diantaranya melihat, membau, dan mendengarkan tanpa alat bantu. Diusahakan agar hewan tenang dan tidak curiga kepada pemeriksa. Inspeksi dari jauh dan dekat terhadap pasien secara menyeluruh dari segala arah dan keadaan sekitarnya. Diperhatikan pula ekspresi muka, kondisi tubuh, pernafasan, keadaan abdomen, posisi berdiri, keadaan lubang alami, aksi dan suara hewan (Boddie. 1962).
Pulsu, temperatur dan nafas; Pulsus diperiksa pada bagian arteri femoralis yaitu sebelah medial femur (normal: 92-150/menit). Nafas diperiksa dengan menghitung frekuensi dan memperhatikan kualitasnya dengan melihat kembang-kempisnya daerah thoraco-abdominal dan menempelkan telapak tangan di depan cuping bagian hidung (normal: 26-48/menit). Temperatur diperiksa pada rectum dengan menggunakan termometer (normal: 37,6-39,4) (Boddie. 1962).
Selaput lendir.
Conjunctiva diperiksa dengan cara menekan dan menggeser sedikit saja kelopak mata bawah. Penampakan conjunctiva pada kucing tampak pucat. Membran mukosa yang tampak anemi (warna pucat) dan lembek merupakan indikasi anemia. Intensitas warna conjunctiva dapat menunjukkan kondisi peradangan akut seperti enteritis, encephalonitis dan kongesti pulmo akut. Cyanosis (warna abu- abu kebiruan) dikarenakan kekurangan oksigen dalam darah, kasusnya berhubungan dengan pulmo atau sistem respirasi. Jaundice (warna kuning) karena terdapatnya pigmen bilirubin yang menandakan terdapatnya gangguan pada hepar. Hiperemi (warna pink terang) adanya hemoragi petechial menyebabkan hemoragi purpura (Boddie. 1962).

Sistemik
Sistem Pencernaan
Pakan/minum diberikan untuk melihat nafsu makan dan minum. Kemudian dilihat juga keadaan abdomen antara sebelah kanan dan kiri. Mulut, dubur, kulit sekitar dubur dan kaki belakang juga diamati, serta cara defekasi dan tinjanya.
Mulut, Pharynx, dan Oesophagus; Mulut anjing dibuka dengan menekan bibir kebawah gigi atau ke dalam mulut, dan dilakukan inspeksi. Bila perlu, tekan lidah dengan spatel agar dapat dilakukan inspeksi dengan leluasa seperti bau, mulut, selaput lendir mulut, pharynx, lidah, gusi, dan gigi-geligih serta kemungkinan adanaya lesi, benda asing, perubahan warna, dan anomali lainnya. Oesophagus dipalpasi dari luar sebelah kiri dan pharynx. (Boddie. 1962).
Abdomen; Inspeksi dilakukan pada abdomen bagian kiri dan kanan dengan memperhatikan isi abdomen yang teraba serta dilakukan auskultasi dari sebelah kanan ke kiri untuk mengetahui peristaltik usus. Lakukan pula eksplorasi dengan jari kelingking, perhatikan kemungkinan adanya rasa nyeri pada anus atau rektum, adanya benda asing atau tinja yang keras. (Boddie. 1962).

Sistem Pernafasan
Adanya aksi-aksi atau pengeluaran seperti batuk, bersin hick-up, frekuensi dan tipe nafasnya perlu diperhatikan.
Hidung; Perhatikan keadaan hidung dan leleran yang keluar, rabalah suhu lokal dengan menempelkan jari tangan pada dinding luar hidung. Serta lakukanlah perkusi pada daerah sinus frontalis.
Pharynx, Larinx, Trakea; Dilakukan palpasi dari luar dengan memperhatikan reaksi dan suhunya, perhatikan pula limfoglandula regional, suhu, konsistensi, dan besarnya, lalu bandingkan antara limfoglandula kanan dan kiri.
Rongga dada; Perkusi digital dilakukan dengan membaringkan kucing pada alas yang kompak, dan diperhatikan suara perkusi yang dihasilkan. Palpasi pada intercostae lalu perhatikan adanya rasa nyeri pada pleura dan edeme subcutis. (Boddie. 1962).

Sistem Sirkulasi
Diperhatikan adanya kelainan alat peredaran darah seperti anemia, sianosis, edema atau ascites, pulsus venosus, kelainan pada denyut nadi, dan sikap atau langkah hewan. Periksa frekuensi, irama dan kualitas pulsus atau nadi, kerjakan pemeriksaan secara inspeksi, palpasi, auskultasi, dan perkusi pada daerah jantung (sebelah kiri). Perhatikan pula adanya pulsasi di daerah vena jugularis dengan memeriksa pada 1/3 bawah leher (Boddie. 1962).

Sistem Limphatica
Dilakukan inspeksi, untuk mengetahui kemungkinan adanya kebengkakan limfoglandula. Limfoglandula yang dapat dipalpasi pada kucing yaitu; lgl. submaxillaris, lgl. parotidea, lgl. retropharyngealis, lgl. cervicalis anterior, lgl. cervicalis medius, lgl. cervicalis caudalis, lgl. prescapularis, lgl. axillaris (dapat teraba jika kaki diabduksikan), lgl. inguinalis, lgl. superficialis (pada betina disebut lgl. supramammaria), lgl. poplitea, lgl. mesenterialis. Palpasi dilakukan di daerah lgl, dengan memperhatikan reaksi, panas, besar dan konsistensinya serta simetrinya kanan dan kiri (Boddie. 1962).

Sistem Lokomotor
Perhatikanlah posisi, cara berdiri dan berjalan hewan. Periksalah musculi dengan membandingkan ekstremitas kanan dan kiri. Serta melakukan palpasi. Perhatikan pula suhu, kontur, adanya rasa nyeri dan pengerasan. Pemeriksaan tulang seperti musculi diperhatikan bentuk, panjang dan keadaan. Persendian diperiksa dengan cara inspeksi cara berjalan dan keadaan persendian, lakukanlah palpasi apakah ada penebalan, cairan (pada kantong synovial ataukah pada vagina tendinea) (Boddie. 1962).

Organ Uropoetica
Perhatikanlah sikap pada waktu kencing. Amati air seni (kemih) yang keluar, warnanya, baunya dan adanya anomali (darah, jonjot, kekeruhan dan lain sebagainya).
Ginjal; Kucing diperiksa denagn melakukan palpasi pada daerah lumbal. Pada kucing ginjalnya menggantung seperti kue bakpia atau mainan yoyo. Perhatikan reaksi, besar, konsistensi dan simetrinya.
Vesica urinaria; Palpasi rongga perut pada waktu isi, kosongkan dengan kateter, palpasi pada keadaan kosong dari kemih, raba kemungkinan adanya benda asing (batu, tumbuh ganda) atau adanya pembengkakan/penebalan dinding vesica urinaria.
Kateterisasi/pengambilan urin; Kateter diambil sesuai dengan kelamin dan besar hewan. Kateter dimasukkan secara legeartis (kateter steril, dengan lubricant yang steril, tidak megiritasi dan mengandung antiseptika).
Pemeriksaan urin; Seperti pemeriksaan fisik, warna, kekentalan, adanya benda-benda yang mencurigakan dan bau. Pada pemeriksaan laboratorium, minimal harus dilakukan pemeriksaan protein, pH, dan endapan, bila perlu ambil darahnya untuk pemeriksaaan urea (BUN; blood urea nitrogen) dan kreatinin (Boddie. 1962).

Sistem Syaraf
Syaraf pusat
  1. N. olfactorius (pembau). Pada anjing dan kucing dengan cara mendekatkan ikan, daging dan lain sebagainya yang merangsang syaraf pembau tanpa mendengar atau melihat.
  2. N. opticus (penglihatan). Gerakkan jari telunjuk di muka matanya, perhatikan apakah hewan mengikuti gerakan telunjuk, dan perhatikan reaksi pupil.
  3. N. oculomotorius, N. trochlearis, N. abducens. Perhatikan pergerakan palpebrae atas, dan gerakan bola mata serta pupil. Untuk pemeriksaan pupil tutup salah satu mata, buka cepat dan perhatikan reaksinya terhadap sinar.
  4. N. trigeminus untuk sensorik, mototrik, dan sekretorik. Lakukan rangsangan dan perhatikan reaksinya pada otot-otot daerah kepala dan mata, perhatikan saliva dan lakrimasi. Perhatikan adanya hyperaesthesi, paralisa dan adanya sekresi yang berlebihan atau berkurang, perhatikan cara mastikasi juga.
  5. N. facialis (wajah). Perhatikan kontur m. facialis, apakah lumpuh bilateral atau muka/bibir menggantung sebelah pada kelumpuhan unilateral.
  6. N. auditorius (pendengaran/keseimbangan). Perhatikan apakah hewan miring sebelah, sempoyongan, dan panggil namanya. Pada telinga pakai lampu (penlight) atau otoscope, periksa adanya radang, cairan, kotoran, dan pertumbuhan abnormal.
  7. N. glossopharingeal. Pada anjing buka mulut rangsang bagian belakang pharynx. Pada hewan besar perhatikan cara menelan.
  8. N. vagus (organ dalam) untuk sensorik dan motorik, pada jantung kerjanya inhibitor.
  9. N. spinal accessories. Perhatikan scapulae, pada paralisa unilateral salah satu scapulae menggantung (kelumpuhan syaraf yang menginervasi m. trapezius/m. sternocephalicus).
  10. N. hypoglossus. Perhatikan lidah apakah menjulur keluar (paralisa bilateral) atau menjulur ke salah satu mulut (paralisa unilateral) (Boddie. 1962).
Syaraf Perifer
Perhatikan aktifitas otot, stimulasi dengan meraba, memijit, menusuk, mencubit dengan jari atau arteri klem atau pinset chirurgis.
Reflex superficial; Conjungtiva (untuk serabut sensorik dari cabang ophthalmic dan cabang maxillaries syaraf cranial V). Cornea (untuk serabut sensorik dari cabang ophthalmic dan maxillaris cabang syaraf cranial V). Pupil (N. opticus: sensorik, N. oculomotorius: motorik). Perineal (N. spinalis) sentuh perineum, perhatikan reaksinya. Pedal (arcus reflex): sentuh, pijit, pinset (cubit) telapak kaki/interdigiti, perhatikan reaksi menarik pada kaki.
Reflex profundal; Patella, pada hewan kecil dilakukan dalam keadaan berbaring, pukul pada ligamentum patellae mediale. Bila reflex bagus m. quardriseps femoris akan berkontraksi mendadak/menendang. Tarsal, lakukan perkusi pada tendo achilles, bila refleksnya bagus maka m. gastrocnemius akan berkontraksi (tampak menendang).
Reflex organic; Menelan (koordinasi neuromuscular di daearah pharynx dan oesophagus, gangguan mekanisme ini terjadi pada tetanus, keracunan strichnin, tetani, paralyse N. XII dan N. X). respirasi (pusat reflex di medulla oblongata, otak, medulla spinalis daerah thorax). Defekasi (syaraf yang menginervasi spincter ani) (Boddie. 1962).


Macam-Macam Ektoparasit Pada Kucing
Tungau (Mites)
  • Demodex canis
  • Sarcoptes scabiei var canis
  • Notoedres cati
  • Otodectes cynotis
  • Pneumonyssus caninum
  • Trombicula minor; T. sarcina
  • Acomatacarus australiensis
  • Cheyletiella parasitovorax; C. yasguri
Pinjal (fleas)
  • Ctenocephalidis canis; Ct. felis
  • Pulex irritans
  • Leptopsylla musculi
  • Notopsyllus fasciatus
  • Xenopsylla cheopis
  • Pygiopsylla cangrua
  • Spilopsyllus cuniculi
  • Echidnophaga myrmecobii; E. perilis
  • E. gallinacea
Pinjal (lice)
  • Trichodectes canis
  • Heterodoxus spiniger; H. longitarsus
  • Linognathus setosus
Caplak (ticks)

  • Ixodes holocyclus; I. australiensis;
  • I. cornuatus, I. myrmecobii; I. tasmani
  • Boophilus microplus
  • Haemaphysalis bancrofi; H. longicornis
  • Rhipicephalus caungineus
  • Amblyomma triguttatum queenslandense;
  • Am. t. triguttatum
  • Aponomma auruginans
  • Ornithodorus gurneyi
Lalat (flies)
  • Stomoxys calcitrans
Nyamuk (mosquitoes)
  • Anopheles bancrofi; An. farrauti
  • An. annulipes
  • Aedes theobadi; Ae. vittiger; Ae. albothorax;
  • Ae. aegyt; Ae. vigilax culex annulirostris;
  • Cx. molestus; Cx. fatigans; Cx. australicus
  • Coquillettidia linealis. Subronto., 2006).

Diagnosa Terhadap Ektoparasit
Penetuan diagnosis pasti dilakukan dengan memeriksa saluran telinga dengan otoskop, setelah dibersihkan dari eksudat dan serumen dengan larutan perhidrol (H2O2) 3% atau larutan pencair serumen, yang tersusun dari propilen glikol, asam malat, asam salisilat dan asam benzoat. Parasit juga dapat diperoleh dengan cara memasukkan cairan minyak ke dalam saluran telinga, telinga dimasase, lalu disedot secara mikroskopik. Karena adanya radang maka keluarlah eksudat radang, yang dengan infeksi kuman akan menghasilkan leleran nanah dengan bau yang menusuk. Oleh rasa nyeri dan gatal, kepala digeleng-gelengkan dan bila hanya satu telinga yang menderita posisi kepala akan miring dengan telinga yang menderita akan lebih rendah (Subronto., 2006).

Handling & Restrain Pada Kucing
Cara handling & restrain dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu manual dan kimia.
Cara handling & restrain dengan bahan kimia seperti;

a. Mayor transquillezer (untuk transportasi hewan karena menimbulkan efek menenangkan)
  • Golongan Phenotiazine: klorpromazine, promazin, prometazin
  • Golongan Butyrophenon: haloperodrol, droperidrol
  • Golongan Alkaloid : reserpin, zylasin
b. Minor transquillezer (sebagai pengendali kerisauan dan histeria)
  • Benzodiazepam
  • Medobromad
Kedua macam obat ini menyebabkan sedasi, hewan acuh, kurang responsif, dan terjadi pengurangan aktivitas lokomotor, diberikan dengan cara PO (per-oral), IP (intra-peritoneum), IM (intra-muscular), IV (intra-vena), dan SC (sub-cutan) (Rock., 2007).



DAFTAR PUSTAKA

Anonim., 1998. http://www.doctordog.com/catbook/cathand.html. 26/5/2009. 8:31:44 PM

Boddie., G.F. 1962. Diagnostic Methods in Veterinary Medicine. Philadelphia: J.B. Lippincott Company.

Rock., A. 2007. Veterinary Pharmakologi. London: Elsecler

Subronto., 2006. Penyakit Infeksi Parasit Dan Mikroba Pada Anjing Dan Kucing. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

PEMERIKSAAN ANJING

LEARNING OBJECTIVE
1. PEMERIKSAAN ANJING;
  • UMUM
  • SISTEMIK
  • LABORATORIUM

Pemeriksaan Anjing;
Umum
Setelah dilakukan sinyalemen/registrasi dan anamnesa maka selanjutnya dilakukan pemeriksaan umum yang meliputi;
Inspeksi dan adspeksi diantaranya melihat, membau, dan mendengarkan tanpa alat bantu. Usahakan agar hewan tenang dan tidak menaruh curiga kepada pemeriksa. Lakukan inspeksi dari jauh dan dekat terhadap pasien secara menyeluruh dari segala arah serta perhatikan keadaan sekitarnya. Perhatikan ekspresi muka, kondisi tubuh, pernafasan, keadaan abdomen, posisi berdiri, keadaan lubang alami, aksi dan suara (Boddie. 1962).
Pulsus dan nafas diperiksa pada bagian arteri femoralis yaitu sebelah medial femur. Nafas diperiksa dengan menghitung frekuensi dan memperhatikan kualitasnya dengan melihat kembang-kempisnya daerah thoraco-abdominal dan menempelkan telapak tangan di depan cuping bagian hidung (Boddie. 1962).
Selaput lendir.
Conjunctiva. Diperiksa dengan cara menekan dan menggeser sedikit saja kelopak mata bawah. Conjunctiva kedua mata harus diperiksa, sehingga keabnormalitasan tertuju sebagai local disease dinilai dan tidak dirancukan dengan gejala klinik umum. Penampakan conjunctiva noramal berbeda- beda pada tiap hewan. Pada kuda berwarna pink pucat, pada sapid an domba warnanya lebih pucat daripada milik kuda, pada babi adalah warna kemerahan, pada kucing tampak pucat. Variasi warna pada hewan yang berbeda ini sebaiknya dihafalkan. Membrane mukosa yang tampak Anemi (warna pucat) dan lembek merupakan indikasi anemia. Intensitas warna conjunctiva dapat menunjukkan kondisi peradangan akut seperti enteritis, encephalonitis dan kongesti pulmo akut. Cyanosis (warna abu- abu kebiruan) dikarenakan kekurangan oksigen dalam darah, kasusnya berhubungsn dengan pulmo atau system respirasi. Jaundice (warna kuning) karena terdapatnya pigmen bilirubin yang menandakan terdapatnya gangguan pada hepar. Hiperemi (warna pink terang) adanya hemoragi petechial maenyebabkan hemoragi purpura dan ingusan pada kuda atau septisemia hemoragi pada ternak (Boddie. 1962).
Mukosa Hidung. Pemeriksaan yang dilkukan adalah dengan melihat apakah terdapat kepucatan, leleran, perubahan warna, petechiasi atau ulserasi. Perubahan ini penting untuk identifikasi conjunctiva. Ulserasi pada mukosa hidung adalah karakteristik gejala klinik ingusan pada kuda (Boddie. 1962).
Mulut. Pemeriksaan mulut dengan cara inspeksi membrane mukosa dan jaringan lain di dalam mulut, palpasi lidah dengan paksaan dan deteksi abnormalitas sepeti trismus. Diperiksa apakah ada iritasi local seperti ulserasi, vesikel, penyakit pada lidah, pipi atau rahang atau trauma langsung pada mulut. Ulserasi mungkin dikarenakan gigi yang sudah tidak berfungsi, pada anjing dapat terjadi pada toksemia yang dikarenakan nephritis akut, infeksi lepstospira, dan defisiensi vitamin akut (Boddie. 1962).
Mata. Penampakan mata normal sehat adalah jernih dan basah. Penampakan mata yang tidak normal dapat menandakan adanya dehidrasi pada jaringan tubuh. Adanya lesi pada kornea, seperti keratitis dan corneal opacity, kemungkinan merupakan luka yang bersifat local, tetapi lesi dapat terjadi juga merupakan gejala klinik dari penyakit yang spesifik seperti canine distemper, dan lain-lain. Respon pada mata dapat dengan menggunakan cahaya dari penlight, jika cahaya didekatkan pada mata maka aka nada reaksi dari pupil yaitu pupil akan berdilatasi, namun jika tidak terdapat reaksi apa- apa berarti kemungkinan adanya gangguan pada system saraf pusat dan berakibat pada system refleknya (Boddie. 1962).

Sistemik
Sistem Pencernaan
Berikan pakan/minum untuk melihat nafsu makan dan minum. Perhatikan juga keadaan abdomen dan bandingkan sebelah kanan dan kiri. Amati mulut, dubur, kulit sekitar dubur dan kaki belakang. Terus perhatikan cara defekasi dan amati tinjanya.
Mulut, Pharynx, dan Oesophagus; Buka mulut anjing dengan menekan bibir kebawah gigi atau ke dalam mulut, kemudian lakukan inspeksi. Bila perlu, tekan lidah dengan spatel agar dapat dilakukan inspeksi dengan leluasa. Pada anjing yang galak, rahang dapat ditali dengan kain lalu rahang atas ditarik ke atas dan rahang bawah ditarik kebawah. Perhatikan bau, mulut, selaput lendir mulut, pharynx, lidah, gusi, dan gigi-geligih. Perhatikan kemungkinan adnaya lesi, benda asing, perubahan warna, dan anomali lainnya. Perhatikan pula limfoglandula regional dan kelenjar ludah. Palpasi oesophagus dari luar sebelah kiri dan raba pharynx dari luar. Bila perlu, dilakukan pemeriksaan radiologi dengan sebelumnya memasukkan ke dalam oesopahgus bahan tak tembus sinar rontgen, misalnya bubur atau barium sulfat (Boddie. 1962).
Abdomen; Lakukan inspeksi keadaan abdomen bagian kiri dan kanan, palpasi daerah abdomen secara menyeluruh dengan menekan ujung jari tangan kiri dan kanan dari dua sisi perut sampai kedua ujung jari bersentuhan atau hanya dibatasi oleh benda atau organ di dalam perut. Perhatikan isi abdomen yang teraba. Lakukan auskultasi dari sebelah kanan ke kiri untuk mengetahui peristaltik usus. Lakukan eksplorasi dengan jari kelingking (pakailah sarung tangan dari karet atau plastik yang diberi pelicin). Perhatikan kemungkinan adanya rasa nyeri pada anus atau rektum, adanya benda asing atau tinja yang keras. Ambil feses untuk pemeriksaan laboratorium, apabila terjadi konstipasi lakukan pemberian enema dengan memesukkan kedalam rectum ¼ -1 ml glyserin atau air sabun hangat 5-30 ml, kemudian ajak anjing ke halaman supaya leluasa bergerak dan buang air, perhatikan pula warna dan konsistensi tinjanya. Periksalah anus dan pencetlah anus dari dua sisi dengan jari tangan yang dilapisi dengan kapas perhatikan kemungkinan adanya cairan yang keluar (Boddie. 1962).

Sistem Pernafasan
Perhatikan adanya aksi-aksi atau pengeluaran seperti batuk, bersin hick-up, perhatikan frekuensi dan amati tipe nafasnya.
Hidung; Perhatikan keadaan hidung dan leleran yang keluar, raba suhu lokal dengan menempelkan jari tangan pada dinding luar hidung. Letakkan kapas di depan hidung kemudian liat reaksi kapasnya. Lakukan perkusi pada daerah sinus frontalis dan perhatikan suaranya.
Pharynx, Larinx, Trakea; Lakukan palpasi dari luar, perhatikan reaksi dan suhunya, perhatikan pula limfoglaandula regional terutama limfoglandula submaxillaris, suprapharyngealis, dan parapharyngealis, perhatikan suhu, konsistensi, dan besarnya, banding kan anatara limfoglandula kanan dan kiri.
Rongga dada; Tentukan daerah perkusi atau auskultasi paru-paru dan gambar di atas kertas dengan meletakkan garis batas depan sejajar vertikal, daerah kanan di sebelah kiri dan darah kiri di sebelah kanan ke atas, lakukan auskultasi dan perhatikan hasilnya, bandingkan dengan hasil auskultasi dengan trakea. Lukakan perkusi digital dengan membaringkan anjing pada alas yang kompak, perhatikan suara perkusi yang di hasilkan. Lakukan palpasi pada intercostae. Perhatikan adanya rasa nyeri pada pleura dan edeme subcutis. Pada anjing dan hewan kecil dapat dilakukan pemeriksaan radiologis (Boddie. 1962).

Sistem Sirkulasi
Perhatikan adanya kelainan alat peredaran darah seperti anemia, sianosis, edema atau ascites, pulsus venosus, kelainan pada denyut nadi, dan sikap atau langkah hewan. Periksa frekuensi, irama dan kualitas pulsus atau nadi, kerjakan pemeriksaan secara inspeksi, palpasi, auskultasi, dan perkusi pada daerah jantung (sebelah kiri). Perhatikan adanya pulsasi di daerah vena jugularis dengan memeriksa pada 1/3 bawah leher, perhatikan kemungkinan adanya pulsus. Periksalah keadaan pembuluh darah perifer dengan pemeriksaan selaput lendir dan mukosa (Boddie. 1962).

Sistem Limphatica
Lakukan inspeksi kemungkinan adanya kebengkakan limfoglandula. Limfoglandula yang dapat dipalpasi pada anjing yaitu; lgl. submaxillaris, lgl. parotidea, lgl. retropharyngealis, lgl. cervicalis anterior, lgl. cervicalis medius, lgl. cervicalis caudalis, lgl. prescapularis, lgl. axillaris (dapat teraba jika kaki diabduksikan), lgl. inguinalis, lgl. superficialis (pada betina disebut lgl. supramammaria), lgl. poplitea, lgl. mesenterialis. Lakukan palpasi di daerah lgl, perhatikan reaksi, panas, besar dan konsistensinya serta simetrinya kanan dan kiri (Boddie. 1962).

Sistem Lokomotor
Perhtikan posisi, cara berdiri dan berjalan hewan. Perisalah musculi dengan membandingkan ekstremitas kanan dan kiri. Serta melakukan palpasi. Perhatikan pula suhu, kontur, adanya rasa nyeri dan pengerasan. Pemeriksaan tulang seperti musculi diperhatikan bentuk, panjang dan keadaan. Coba gerak-gerakkan apakah ada rasa nyeri atau mungkin ada krepitasi (pada fraktur). Pemeriksaan radiologi bila perlu. Persendian diperiksa dengan cara inspeksi cara berjalan dan keadaan persendian, lakukan palpasi apakah ada penebalan, cairan (pada kantong synovial ataukah pada vagina tendinea). Gerak-gerakkan, perhatikan adanya rasa nyeri, atau kekakuan persendian (Boddie. 1962).

Organ Uropoetica
Perhatikan sikap pada waktu kencing. Amati air seni (kemih) yang keluar, perhatikan warnanya, baunya dan adanya anomali (darah, jonjot, kekeruhan dan lain sebagainya).
Ginjal anjing dilakukan palpasi pada daerah lumbal, cari ginjal. Pada kucing dipalpasi dengan rongga perut, ginjal kucing menggantung seperti kue bakpia atau mainan yoyo. Perhatikan reaksi, besar, konsistensi dan simetrinya.
Vesica urinaria; palpasi rongga perut pada waktu isi, kosongkan dengan kateter, palpasi pada keadaan kosong dari kemih, raba kemungkinan adanya benda asing (batu, tumbuh ganda) atau adanya pembengkakan/penebalan dinding vesica urinaria.

Kateterisasi/pengambilan urin; ambil kateter sesuai dengan kelamin dan besar hewan. Kateter dimasukkan secara legeartis (kateter steril, dengan lubricant yang steril, tidak megiritasi dan mengandung antiseptika).
Pemeriksaan urin; pemeriksaan fisik, perhatikan air kemih yang telah di tamping, perhatikan warna, kekentalan, adanya benda-benda yang mencurigakan dan bau. Pemeriksaan laboratorium, minimal harus dilakukan pemeriksaan protein, pH, dan endapan, bila perlu ambil darahnya untuk pemeriksaaan urea (BUN; blood urea nitrogen) dan kreatinin (Boddie. 1962).

Sistem Syaraf
Syaraf pusat
  1. N. olfactorius (pembau). Pada anjing dan kucing dengan cara mendekatkan ikan, daging dan lain sebagainya yang merangsang syaraf pembau tanpa mendengar atau melihat.
  2. N. opticus (penglihatan). Gerakkan jari telunjuk di muka matanya, perhatikan apakah hewan mengikuti gerakan telunjuk, dan perhatikan reaksi pupil.
  3. N. oculomotorius, N. trochlearis, N. abducens. Perhatikan pergerakan palpebrae atas, dan gerakan bola mata serta pupil. Untuk pemeriksaan pupil tutup salah satu mata, buka cepat dan perhatikan reaksinya terhadap sinar.
  4. N. trigeminus untuk sensorik, mototrik, dan sekretorik. Lakukan rangsangan dan perhatikan reaksinya pada otot-otot daerah kepala dan mata, perhatikan saliva dan lakrimasi. Perhatikan adanya hyperaesthesi, paralisa dan adanya sekresi yang berlebihan atau berkurang, perhatikan cara mastikasi juga.
  5. N. facialis (wajah). Perhatikan kontur m. facialis, apakah lumpuh bilateral atau muka/bibir menggantung sebelah pada kelumpuhan unilateral.
  6. N. auditorius (pendengaran/keseimbangan). Perhatikan apakah hewan miring sebelah, sempoyongan, dan panggil namanya. Pada telinga pakai lampu (penlight) atau otoscope, periksa adanya radang, cairan, kotoran, dan pertumbuhan abnormal.
  7. N. glossopharingeal. Pada anjing buka mulut rangsang bagian belakang pharynx. Pada hewan besar perhatikan cara menelan.
  8. N. vagus (organ dalam) untuk sensorik dan motorik, pada jantung kerjanya inhibitor.
  9. N. spinal accessories. Perhatikan scapulae, pada paralisa unilateral salah satu scapulae menggantung (kelumpuhan syaraf yang menginervasi m. trapezius/m. sternocephalicus).
  10. N. hypoglossus. Perhatikan lidah apakah menjulur keluar (paralisa bilateral) atau menjulur ke salah satu mulut (paralisa unilateral) (Boddie. 1962).
Syaraf Perifer
Perhatikan aktifitas otot, stimulasi dengan meraba, memijit, menusuk, mencubit dengan jari atau arteri klem atau pinset chirurgis.
Reflex superficial; Conjungtiva (untuk serabut sensorik dari cabang ophthalmic dan cabang maxillaries syaraf cranial V). Cornea (untuk serabut sensorik dari cabang ophthalmic dan maxillaris cabang syaraf cranial V). Pupil (N. opticus: sensorik, N. oculomotorius: motorik). Perineal (N. spinalis) sentuh perineum, perhatikan reaksinya. Pedal (arcus reflex): sentuh, pijit, pinset (cubit) telapak kaki/interdigiti, perhatikan reaksi menarik pada kaki.
Reflex profundal; patella, pada hewan kecil dilakukan dalam keadaan berbaring, pukul pada ligamentum patellae mediale. Bila reflex bagus m. quardriseps femoris akan berkontraksi mendadak/menendang. Tarsal, lakukan perkusi pada tendo achilles, bila refleksnya bagus maka m. gastrocnemius akan berkontraksi (tampak menendang).
Reflex organic; menelan (koordinasi neuromuscular di daearah pharynx dan oesophagus, gangguan mekanisme ini terjadi pada tetanus, keracunan strichnin, tetani, paralyse N. XII dan N. X). respirasi (pusat reflex di medulla oblongata, otak, medulla spinalis daerah thorax). Defekasi (syaraf yang menginervasi spincter ani) (Boddie. 1962).


Tranquillezers
Disebut juga ataraktika atau anxiolitika khususnya obat benzo relaksasi otot, khususnya menakan SSP (sistem saraf pusat) dengan khasiat sedatif dan hipnotis. Tranquillezers juga dapat digunakan sebagai premedika: yakni obat-obatan yang diberikan sebelum anastesi. Sebagai efek sedative (obat yang menenangkan hewan tanpa menyebabkan tidur) menyebabkan hewan kurang responsif terhadap lingkungan dari luar karena aktivitas motorik mulai berkurang pada dosis besar dapat menyebabkan hipnose (tidur, namun bila dibangunkan akan cepat bangun). Pada umumnya diberikan pada semua jenis hewan (Rock., 2007).

Klasifikasi TRanquillezer

a. Mayor transquillezer: digunakan untuk transportasi hewan karena menimbulkan efek menenangkan.
  • golongan phenotiazine: klorpromazine, promazin, prometazin
  • golongan butyrophenon: haloperodrol, droperidrol
  • golongan alkaloid : reserpin, zylasin
b. Minor transquillezer: digunakan sebagai pengendali kerisauan dan histeria. Contoh :
  • benzodiazepam
  • medobromad
Kedua macam obat ini menyebabkan sedasi, hewan acuh, kurang responsive, dan terjadi pengurangan aktivitas lokomotor.
Kloropromazine merupakan senyawa yang mempunyai spektrum kerja yang amat luas yaitu bekerja menekan sistem SSP dan anti-psikotik, di samping itu juga anti-emetik lokal anastesi, pemblok ganglion, antikolinergik, adrenolitik dan anti histamine, senyawa ini juga menggangu pengaturan panas dengan mempengaruhi pusat panas (Rock., 2007).



DAFTAR PUSTAKA

Anonim., 2009. http://books.google.co.id/books?id=driJ1awa180C&pg=PA1&lpg=PA1&dq=dog+handling+and+restraint&source=bl&ots=bC5OBK4rQH&sig=yTJGkYOu3beqxAy33hFUrPZ3OKs&hl=id&ei=dfAbSu6LC4-PkAWc-HU&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=10#PRA1-PT1,M1. 26/5/2009. 9:00:33 PM

Rock., A. 2007. Veterinary Pharmakologi. London: Elsecler

Boddie., G.F. 1962. Diagnostic Methods in Veterinary Medicine. Philadelphia: J.B. Lippincott Company.

MAREK'S DISEASE

LEARNING OBJECTIVE
1. PENYAKIT MAREK’S MELIPUTI;
  • ETIOLOGI
  • PATOGENESIS
  • DIFFERENSIAL DIAGNOSA

Penyakit Marek’s Meliputi;
Etiologi
Marek's pada unggas disebabkan oleh Virus herpes onkogenik. Kejadian dan kepentingan ekonomis penyakit marek tersebar luas diseluruh dunia dan menyerang ayam pada umur 5-35 minggu. penyakit ini disebabkan oleh galur virus yang sangat patogenik (vvMD) yang bertanggung jawab terhadap wabah akut dengan angka kematian hingga 50%, terutama pada ayam tertular dan tidak dikebalkan hingga umur 60 minggu. Virus penyakit marek bertanggung jawab terhadap pembentukan tumor syaraf (neural) dan organ dalam (viseral). Agennya bersifat imunosupresif dan ayam-ayam yang terkena penyakit ini peka terhadap berbagai infeksi virus dan bakteri.
Penularan virus marek terjadi secara horizontal. Virus ini tahan terhadap pengaruh lingkungan dan dapat bertahan hidup sangat lama didalam kandang, terutama apabila pembersihan kandang (dekontaminasi) setiap siklus produksi tidak dilaksanakan
ayam-ayam yang terinfeksi akan melepaskan debu dari bulu yang tercemar virus dan disebarkan oleh angin, peralatan dan petugas kandang (Anonim1., 2008).
Marek’s disease disebabkan oleh Herpesviurs grup B yang bersifat highly cell-associated (sangat bergantung pada sel) pada semua jaringan kecuali pada epite folikel bulu. Beberapa peneliti mengelompokkan berbagai isolat MDV berdasarkan patogenitasnya ke dalam 3 kelompok, yaitu isolat bersifat apatogenik, isolat yang menyebabkan MD akut, dan isolat yang menyebabkan MD klasik (Tabbu., 2000).
Berdasarkan atas kemampuannya untuk membentuk tumor, maka berbagai isolat MDV dapat dikelompokkan menjadi MDV onkogenik yang sangat virulen dan MDV non-onkogenik yang tidak virulen. Virus MD dapat digolongkan menjadi 3 serotipe, yaitu serotipe 1, meliputi MDV yang bersifat onkogenik/patogenik; serotipe 2, meliputi MDV bersifat non-onkogenik/apatogenik; dan serotipe 3, meliputi MDV yang bersifat non-onkogenik yaitu HVT (Tabbu., 2000).
Berdasarkan atas kemampuan dari MDV untuk menimbulkan lesi MD pada ayam yang telah divaksinasi dengan vaksin HVT atau vaksin gabungan HVT dan MDV serotipe 2, maka berbagai isolat MDV dapat dikelompokkan menjadi 3 tipe patogenik, yaitu MDV virulen (vMDV), very virulen MDV (vvMDV), dan very virulen+MDV (vv+MDV). Di samping itu, terdapat juga tipe patogenik MDV serotipe 1 yang bersifat ringan (mMDV) (Tabbu., 2000).
Pada epitel folikel bulu yang diwarnai dengan metode negative staining dapat ditemukan adanya partikel virus yang mempunyai envelope dengan ukuran 273 – 400 nm dan terlihat sebagai struktur atmorfus yang tidak teratur. Kadang-kadang ditemukan adanya partikel virus yang mempunyai envelope dengan diameter 150 – 160 nm. Pada metode negative staining dapat juga ditemukan nukleokapsid yang tidak mempunyai envelope dengan ukuran 85 – 100 nm. Morfologi HVT mirip dengan virus MD. Virus MD mempunyai double-stranded (ds) DNA yang linear. Struktur dari MDV dan HVT mempunyai perbedaan yang bersifat minor, tetapi sangat penting. Berbagai isolat MDV cenderung untuk bersifat lebih virulendibandingakan dengan galur MDV sebelumnya.
Infeksi antara MDV dan sel dapat terjadi melalui 3 bentuk, yaitu infeksi produktif (sitolitik), infeksi laten yang bersifat non-produktif, dan infeksi transforming. Infeksi produktif terjadi di dalam epitel folikel bulu dan menghasilkan virion yang mempunyai envelope dan bersifat infeksius. Infeksi produktif yang bersifat terbatas dapat ditemukan pada sel limfoid dan epitel dari ayam dan epitel dari berbagai kultur sel. Sel-sel tersebut dapat menghasilkan antigen, tetapi virion tidak mempunyai envelope sehingga tidak bersifat infeksius pada semua jenis sel. Infeksi produktif menyebabkan lisis, pembentukan benda inklusi intranuklear dan nekrosis sel (Tabbu., 2000).
Infeksi laten yang bersifat non-produktif hanya ditemukan di dalam limfosit, terutama limfosit T. sebagian besar limfosit B dapat juga menunjukkan infeksi late. Pada infeksi laten, genome dari virus telah terbentuk tetapi tidak diekspresikan. Infeksi transforming diperkirakan diperlukan untuk pembentukan tumor oleh MDV. Berbeda dengan infeksi laten, fenotip yang mengalami transformasi pada infeksi transforming tersifat oleh adanya ekspresi yang terbatas oleh genome MDV. Beberapa peneliti melaporkan adanya 6 jenis antigen, misalnya antigen A, B, dan Marek’s disease tumor associated surface antigen (MATSA) dan berbagai jenis protein sehubungan dengan MDV ataupun HVT (Tabbu., 2000).
Virus MD dalam suatu sediaan cell-free yang berasal dari kulit ayam yang terinfeksi virus tersebut akan mengalami inaktivasi pada berbagai kondisi tertentu, yaitu 10 menit pada pH 3 atau 11; 2 minggu pada tempertaur 4ºC; 4 hari pada temperatur 25ºC; 18 jam pada temperatur 37ºC; 30 menit pada temperatur 56ºC dan 10 menit pada temperatur 60ºC. Virus MD dalam sediaan cell-free dari kulit atau MDV atau HVT dari kultur jaringan yang terinfeksi dapat disimpan pada temperatur -70ºC jika ditambahkan stabilisator yang sesuai (Tabbu., 2000).
Litter dan bulu yang berasal dari ayam yang terserang MD bersifat infeksius dan diperkirakan mengandung MDV cell-free yang berasal dari epitel folikel bulu yang bercampur dengan hancuran sel. Infektivitas material tersebut dapat bertahan selama 4-8 bulan pada temperatur kamar dan selama paling sedikit 10 tahun pada temperatur 4ºC. Virus tersebut akan mengalami inaktivasi setelah pemberian berbagai jenis disinfektan dalam waktu 10 menit. Kemampuan hidup dari MDV akan menurun jika kelembapan ditingkatkan (Tabbu., 2000).

Patogenesis
Etiologi atau penyebab penyakit mareks ini adalah virus DNA. Penyakit ini dapat menyerang semua jenis ternak unggas. Pada ayam, penyakit mareks menyerang ayam-ayam umur muda, setelah ayam berumur 3 minggu atau berkisar 1 sampai dengan 4 bulan. Sedangkan pada ayam dewasa jarang sekali dijumpai. Penyakit mareks tersebar di seluruh dunia, baik yang beriklim tropis mupun sub tropis, termasuk di Indonesia. Apabila ayam terinfeksi oleh virus mareks, maka virus ini akan masuk melalui kulit ke dalam tubuh ayam dan biasanya melalui kulit-kulit yang kotor oleh debu atau kotoran lainnya, terutama debu-debu kandang. Karena itulah kandang diusahakan harus selalu bersih dari debu-debu dan bulu-blulu bekas pada saat molting (Anonim2., 2008).
Hospes alami yang penting untuk MD adalah ayam; disamping itu, juga dapat ditemukan pada kalkun dan burung puyuh. Berbagai spesies avian misalnya burung merak, burung dara, itik, angsa, burung kenari, burung hantu juga diperkirakan dapat terserang oleh MDV sehubungan dengan adanya lesi makroskopik maupun mikroskopik yang menciri untuk MD. Faktor pendukung yang tinggi untuk kejadian di lapangan adalah kemampauan dari MDV untuk hidup dalam tubuh ayam yang terinfeksi secara terus-menerus dan ketahanan virus tersebut yang tinggi di lingkungan. Sejenis kumbang (Alphitobius diaperinus) dilaporkan sebgai vektor mekanik dari MDV dan dapat membawa virus tersebut selama beberapa minggu (Tabbu., 2000).
Marek’s disease (MD) herpesvirus (MDV) pada unggas diketahui sebagai virus onkogenik alami yang menyebabkan limfoma pada sel T. Identifikasi sel yang mengalami transformasi pada MD memberi kesempatan secara menyeluruh untuk menjelaskan patogenesis MD dan tingginya nilai kegunaan MD sebagai model pada penelitian onkologi virus herpes (Burges dan Davison 2002). Infeksi MDV pada ayam dapat dijadikan sebagai model infeksi virus herpes onkogen untuk hewan lain (Anonim3., 2009).
Periode infeksi MDV meliputi tiga bentuk, yaitu infeksi akut (produktif) yang menimbulkan lisis sel limfosit B dan limfosit T, infeksi laten yang bersifat non-produktif, dan infeksi transforming, yaitu transformasi gen pada limfosit T. Pada infeksi produktif terjadi replikasi DNA virus, sintesis protein yang menghasilkan partikel virus secara lengkap. Virus menginfeksi, merusak, dan membunuh limfosit B maupun limfosit T. Selama infeksi terjadi sitolisis sehingga pada puncak replikasi virus terjadi imunosupresi dan peningkatan sensitivitas inang pada infeksi bersamaan dengan penurunan bobot relatif bursa Fabricius dan timus (Anonim3., 2009).
Pada infeksi laten tidak terjadi replikasi DNA, transkripsi, maupun sintesis protein. Kejadian ini dialami pada infeksi MDV serotipe 2 dan 3 non-onkogen. Sel T yang terinfeksi bisa berubah menjadi infeksi laten atau bisa merespons onkogenesitas gen virus yang mengalami transformasi. Infeksi transforming hanya terjadi pada sel yang terinfeksi oleh MDV serotipe 1. Beberapa subset limfosit T, yaitu CD4 dan CD8 merupakan target transformasi karena bagian tersebut berperan sebagai tempat perlekatan awal infeksi sitolisis (Anonim3., 2009).
Virus penyebab tumor disebut virus onkogen dan gen yang ada pada virus disebut viral oncogen (V-onc) yang homolog dengan sekuen DNA pada gen seluler inang, yaitu proto oncogen (C-onc) yang dapat berinteraksi dengan gen virus. Terjadinya transformasi pada gen seluler inang oleh gen virus bergantung pada resistensi seluler inang, virulensi virus penyebab, dan kehadiran substansi kimia penyebab tumor, yaitu bahan karsinogen yang menginduksi terjadinya mutasi (Anonim3., 2009).
Ayam dalam kondisi normal memproduksi radikal bebas (prooksidan) sebagai proses fisiologis yang seimbang dengan antioksidan endogen yang tersedia. Infeksi MDV pada ayam diawali sitolisis pada limfosit B dan limfosit T, ayam memberikan respons imun yang didahului oleh respons imun non-spesifik, yaitu fagositosis oleh makrofag dan neutrofil yang menghasilkan bahan penghancur mikroorganisme patogen berupa peningkatan produksi radikal bebas yang memiliki efek samping, yaitu kerusakan molekul-molekul pada sel sehingga menimbulkan sitolisis termasuk pada limfosit B dan limfosit T. Radikal bebas merupakan bahan karsinogen yang menimbulkan mutasi gen sehingga dapat menginduksi terjadinya kanker.
Tekanan oksidatif diinduksi secara luas oleh faktor lingkungan termasuk sinar ultraviolet, serangan patogen, reaksi hipersensitif, kerja herbisida, dan kekurangan oksigen. Spesies oksigen reaktif (ROS), hidrogen peroksida (H2O2), dan superoksida (O2-) dihasilkan oleh sejumlah reaksi seluler yang dikatalisis oleh besi (Fe-2) dan reaksi enzimatik seperti lipooksigenase, peroksidase, NADPH oksidase, dan santin oksidase. Sejumlah komponen seluler yang peka terhadap kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas adalah lipid, yaitu peroksidasi pada asam lemak tidak jenuh pada membran, denaturasi protein dan asam nukleat. Pembentukan ROS dapat dicegah oleh antioksidan (Anonim3., 2009).
Pada tanaman beberapa senyawa fenolik merupakan antioksidan potensial: flavonoid, tanin, dan lignin merupakan precursor yang bekerja pada penangkapan senyawa ROS. Mekanisme penyerangan oleh radikal bebas termasuk ROS menginduksi peroksidasi pada asam lemak yang memiliki beberapa ikatan rangkap pada membran sel lipid bilayer yang menyebabkan reaksi berantai peroksidasi lipida sehingga terjadi kerusakan pada membran sel, oksidasi pada lipida membran dan protein, yang menyebabkan kerusakan pada bagian-bagian dari sel termasuk DNA (Anonim3., 2009).
Pada saat ini penggunaan antioksidan sintetik seperti Torlok C, Prowl galat, dan mono-tertiery-butyl-hidroquinone (TBHQ) sedang mendapat perhatian karena mempunyai efek mengurangi kerusakan oksidatif, namun mempunyai aktivitas yang dapat merugikan konsumen, antara lain gangguan fungsi hati, paru-paru, mukosa usus, dan keracunan. Untuk mengatasi hal tersebut sebaiknya dipilih memanfaatkan antoksidan alami (Anonim3., 2009).
Sejumlah komponen seluler yang sensitif terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh radikal bebas adalah peroksidasi asam lemak tidak jenuh pada bio-membran, denaturasi protein, karbohidrat, dan asam nukleat. Pada tumbuhan beberapa senyawa fenolat yang merupakan antioksidan kuat, yaitu flavonoid, tanin, dan lignin yang berfungsi sebagai prekursor menangkap (scavenger) senyawa radikal oksigen (ROS). Antioksidan bekerja secara bersama-sama dan berurutan pada reaksi redoks. Flavonoid telah menunjukkan perannya sebagai antioksidan, antimutagenik, antineoplastik, dan vasodilatator. Potensi antioksidan flavonoid pada kerusakan oksidatif yang ditimbulkan oleh semua proses penyakit menyebabkan flavonoid layak digunakan untuk pengendalian sejumlah penyakit (Anonim3., 2009).

Differensial Diagnosa
Retikuloendotelialis Non-Bursal mirip dengan MD oleh karena adanya pembesaran pada saraf perifer dan tumor pada berbagai organ viseral, meliputi hati, timus, jantung, proventrikulus dan limpa. Pada bentuk ini tidak ditemukan adanya tumor pada bursa fabricius (Tabbu., 2000).
Penyakit lain yang mirip dengan MD adalah Limfoid leukosis (LL). Marek’s disease ditemukan pada ayam muda dan menimbulkan lesi pada saraf perifer. Penyakit ini ditandai oleh adanya sel-sel limfoid yang berbentuk heterogen. Meskipun demikian, vv+MDV dapat juga menimbulkan tumor pada berbagai organ ayam dewasa dan menimbulkan tumor pada bursa fabricius. Penyakit ini ditandai oleh adanya sel-sel tumor tipe blas yang berbentuk seragam. Asumsi yang penting di dalam diagnosis LL adalah terbentuknya tumor pada burca fabricius pada ayam umur >16 minggu (Tabbu., 2000).
Pada pemeriksaan pasca-mati, MD kerapkali dikelirukan dengan ML (Mieloid leukosis) sehubungan dengan tidak terbentuknya tumor pada bursa fabricius dan adanya tumor pada berbagai organ viseral. Namun, tumor spesifik pada kasus ML, yang tergolong mielositoma pada mukosa laring, trakea, koste, sternum dan kranium akan membedakan penyakit ini dengan MD (Tabbu., 2000).



DAFTAR PUSTAKA

Anonim1., 2008. Penyakit Marek’s Pada Unggas. http://www.vet-klinik.com/Perunggasan/marek-s-pada-unggas.html. Diakses Pada Tanggal; 9/5/2009 2:57:40 PM

Anonim2., 2008. Cara Atasi Marek’s. http://simalungunboy.blog.friendster.com/2008/02/cara-atasi-mareks/. Diakses Pada Tangga; 9/5/2009 2:49:59 PM

Anonim3., 2009. Pengaruh Ekstrak Benalu Teh Scurrula Oortiana Pada Fenomena Imunologis Dan Risiko Kanker Pada Ayam Yang Diinfeksi Herpesvirus MDV Onkogen. http://keset.wordpress.com/2008/09/13/penyakit-mareks-pada-unggas/. Diakses Pada Tanggal; 9/5/2009 2:57:01 PM

Quinn., P.J.; Markey., B.K.; Carter., M.E.; Donnely., W.J.C.; Leonard., F.C.; Maghire., D. 2002. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Dublin. Irlandia: Blackwell Science

Tabbu., C. R. 2000. Penyakit Ayam Dan Penanggulangannya. Volume 1. Kanisius. Yogyakarta. Hal. 248-252, 284, 296, & 315.

AVIAN INFLUENZA

LEARNING OBJECTIVE
1. PENYAKIT INFLUENZA, MELIPUTI;
  • ETIOLOGI
  • PATOGENESIS
  • GEJALA KLINIS
  • DIAGNOSIS
  • DIFFERENSIAL DIAGNOSA
  • PENGENDALIAN & PENCEGAHAN

Penyakit Influenza, Meliputi;
Etiologi
Flu Burung adalah influenza pada unggas yang disebabkan oleh virus Avian Influenza (AI) dari famili Orthomyxoviridae. Virus AI terdiri atas 3 tipe antigenik yang berbeda, yaitu A, B dan C, juga mempunyai sub-tipe yang dibagi berdasarkan permukaannya yaitu Hemaglutinin (HA) dan Neuraminidase (NA), yang terbagi menjadi 16 sub-tipe H dan 9 sub-tipe N. Virion menciri dari virus influenza A adalah membulat dan berdiameter 100 nm tetapi lebih sering ditemukan bentuk yang lebih besar dan tidak beraturan. Terdapat 8 protein virion, lima darinya merupakan protein struktural dan 3 berkaitan dengan polimerase RNA. Terdapat 2 jenis polimer, molekul hemaglutinin (H) bentuk batang, yang merupakan trimer dan molekul neuramidase (N) bentuk jamur yang merupakan tetramer. Kedua molekul H dan N itu merupakan lipoprotein dan membawa epitop khusus-subtipe (Nazaruddin., 2008).
Sifat Virus avian influenza adalah dapat meng-hemaglutinasi sel darah merah unggas, virus influenza ini dapat bertahan hidup pada di air sampai 4 hari pada suhu 220C dan lebih dari 30 hari pada suhu 00C. Di dalam tinja unggas dan dalam tubuh unggas yang sakit dapat bertahan lebih lama. Namun, virus ini sensitif terhadap panas pada suhu 560C selama 3 jam atau 600C selama 30 menit, suasana asam pada pH 3 (Nazaruddin., 2008).
Hospes; Virus influenza H5N1 pada awalnya diperkirakan menyebar melalui burung-burung liar yang secara periodik melakukan migrasi pada setiap perubahan musim. Virus kemudian menular ke peternakan unggas. Pada awalnya virus itu hanya mampu menginfeksi dan menyebabkan kematian dalam waktu singkat pada sejumlah besar unggas (Nazaruddin., 2008).

Schematic representation of influenza A virus.
http://www.vetscite.org/publish/articles/000041/print.html

Genom virus influenza A dan B terdiri dari 8 segmen terpisah ditutupi oleh protein nukleokapsid. Bersama-sama membuat ribonukleoprotein (RNP), dan tiap segmen memiliki kode untuk protein fungsional yang penting;
  1. Polymerase protein B2 (PB2)
  2. Polymerase Protein B1 (PB1)
  3. Polymerase protein (PA)
  4. Haemagglutinin (H atau HA)
  5. Protein nukleokapsid (NP)
  6. Neuraminidase (N atau NA)
  7. Protein matriks (M); M1 memebangun matriks hanya dalam virus influenza A, M2 berfungsi sebagai pompa saluran ion untuk menurunkan atau mempertahankan endosom
  8. Protein non-struktural (NS); Fungsi NS2 adalah hipotetis (Kamps.,et all. 2007).
Polymerase RNA-RNA aktif, yang bertanggung jawab untuk replikasi dan transkripsi, dibentuk dari PB2, PB1, dan PA. polymerase tersebut memiliki aktivitas endonuklease dan diikat RNP. Protein NS1 dan NS2 memiliki fungsi pengaturan untuk mendorong sintesis komponen-komponen virus dalam sel terinfeksi (Kamps.,et all. 2007).
Selubung virus adlah dua lapis membrane lemak yang berasal dari sel produksi virus yang mengandung penonjolan yang jelas dibentuk oleh H dan N, juga protein M2. Lapisan lemak menutupi matriks yang dibentuk oleh protein M1. Virus influenza C mengandung tujuh segmen genom, pemrukaannya hanya mempunyai satu glikoprotein (Kamps.,et all. 2007).

Patogenesis
Patogenesitas merupakan suatu interaksi antara hospes dan virus, maka suatu virus influenza yang bersifat patogenik terhadap satu spesies unggas belum tentu bersifat patogenik untuk spesies yang lainnya. Target jaringan atau organ suatu virus mungkin mempengaruhi tingkat patogenesitasnya. Virus AI dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok yaitu bentuk akut yang disebut dengan Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) dan yang bentuk ringan disebut Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI). Virus pada unggas yang mempunyai subtipe H5 atau H7 telah diketahui mempunyai hubungan yang erat dengan penyakit yang bersifat patogenik, sebaliknya banyak juga virus influenza A subtipe H5 atau H7 yang bersifat tidak patogen (Tabbu., 2000).
Cara penularan; Di alam, yang bertindak sebagai reservoir utama virus AI adalah unggas air antara lain itik liar, dalam tubuhnya ditemukan semua subtipe yang ada dan dapat bersembunyi pada saluran pernapasan dan saluran pencernaan dan menyebar ke unggas lain melalui inhalasi. Penyebaran flu burung dapat melalui induk semang, virus dapat menginfeksi segala jenis unggas, sumber penularan terutama pada waktu unggas air yang bermigrasi dan tingkat patogennya tergantung dari subtipe virus, spesies unggas dan faktor lingkungan. Penularan avian influenza dapat terjadi melalui kontak langsung antara ayam sakit dengan ayam yang peka. Ayam yang terinfeksi mengeluarkan virus dari saluran pernapasan konjungtiva dan feses (Nazaruddin., 2008).
Penularan juga dapat terjadi secara tidak langsung, misalnya melalui udara yang tercemar oleh material/debu yang mengandung virus influenza, makanan/minuman, alat/perlengkapan peternakan, kandang, pakaian, kendaraan, peti telur, nampan telur, burung dan mamalia yang tercemar virus influenza Lalat juga mempunyai peranan dalam menyebarkan virus AI. Tinja yang mengandung virus avian influenza dalam 1 gram dapat menginfeksi ayam sebanyak satu juta ekor (Nazaruddin., 2008).
Agen infeksi lain, faktor lingkungan/stress dapat berpengaruh pada berat/ringannya dari suatu penyakit. Unggas yang sembuh menjadi carier, sebagai pembawa sifat (Ambar., 2005). Faktor-faktor yang mempengaruhi penularan flu burung yaitu kepadatan penduduk dan kepadatan unggas, virus yang bersirkulasi (H5N1), biosekuriti yang menurun, kerentanan daya tahan tubuh manusia dan hewan (Nazaruddin., 2008).
  1. Mula- mula virion menempel pada reseptor sel tropisma melalui protein hemaglutinin.
  2. Proses endositosis ini akan berlangsung beberapa waktu, berdasarkan pengamatan sekitar 10 menit, proses endositosis dan pelepasan selubung telah mencapai 50 %, proses ini sampai semua segmen RNA ke luar ke dalam sitoplasma.
  3. Segmen- segmen tersebut masuk ke dalam nucleus dan mengalami transkripsi, untuk merubah bentuk (-)RNA menjadi (+)RNA.
  4. Sebagian segmen keluar kembali ke sitoplasma untuk mempersiapkan protein selubung untuk dipakai oleh virus baru yang akan dihasilkan. Protein yang dimaksud adalah HA, NA, M dan NS.
  5. Delapan segmen yang berada di inti selditambah dengan segmen RNA yang masih tersisa di sitoplasma melakukan replikasi, yaiu perbanyakan RNA. Virus RNA lain, replikasi di luar inri. Selama di dalam inti, AI menggunakan bahan- bahan yamg diperlukan dari dalam inti sel inang. Proses ini yang memudahkan terjadi proses Antigen drift dan Antigen shift.
  6. Segmen RNA yang sudah mengalami replikasi, keluar ke sitoplasma untuk dibungkus dengan protein HA, NA, M, serta NS, menjadi anak AI yang siap dilepas dari sel hospes. Untuk bisa keluar, virus ini harus menempel pada reseptor dalam sel hospes. Penempelan ini dilakukan oleh protein neuroaminidase, berlangsung selama 2 jam sejak infeksi (Rahardjo., 2004).
Gejala Klinis
Masa inkubasi virus avian influenza bervariasi antara 1-3 hari, masa inkubasi tersebut tergantung pada dosis virus, rute kontak dan spesies unggas yang diserang. Gejala penyakit sangat bervariasi dan tergantung pada spesies unggas terinfeksi, subtipe virus dan faktor lingkungan (Nazaruddin., 2008).
Gejala yang terlihat dapat berbentuk gangguan pada saluran pernapasan, pencernaan, reproduksi dan sistem saraf (Rahardjo., 2004). Gejala awal yang dilaporkan adalah penurunan nafsu makan, emasiasi, penurunan produksi telur, gejala pernapasan seperti batuk, bersin, menjulurkan leher, hiperlakrimasi, bulu kusam, pembengkakan (oedema) muka dan kaki, sianosis pada daerah kulit yang tidak berbulu, gangguan saraf dan diare. Gejala tersebut dapat berdiri sendiri atau dalam bentuk kombinasi (Nazaruddin., 2008).
Burung puyuh yang mati menunjukkan gejala klinis, seperti kotoran putih kehijauan, tidak nafsu makan, dan lemas. Proses kematian tidak terlalu mendadak seperti gejala AI sebelumnya. Morbiditas dan mortalitas bervariasi dan tergantung pada spesies unggas, virus, umur, lingkungan (kadar amoniak, ventilasi) dan adanya infeksi sekunder. Morbiditas dapat sangat tinggi, tetapi sebaliknya mortalitas rendah. Pada avian influenza yang disebabkan oleh virus yang sangat patogen, maka mortalitas dan morbiditas dapat mencapai 100%. Mortalitas biasanya meningkat antara 10-50 kali dari hari sebelumnya dan mencapai puncaknya pada hari ke-6 sampai ke-7 setelah timbulnya gejala (Tabbu., 2000).
Faktor predisposisi seperti lingkungan yang jelek, penggunaan vaksin virus hidup dan infeksi sekunder oleh virus, bakteri serta mikoplasma dapat memperparah gejala klinis. (Nazaruddin., 2008).

Perubahan Patologik
Perubahan Makroskopik
Perubahan Makroskopik yang ditemukan pada unggas sangat bervariasi menurut lokasi tempat lesi itu ditemukan, derajat keparahan, spesies unggas, dan patogenesitas dari virus.
a. Bentuk ringan (Low Pathogenic Avian Influenza)
Pada sinus mungkin ditemukan adanya salah satu atau campuran eksudat kataralis, fibrinus, serofibrinus, mukopurulen atau kaseus. Edema disertai eksudat dari serous sampai kaseus pada trakhea. Kantong udara menebal mengandung eksudat fibrinus atau kaseus. Pada peritoneum tampak adanya peritonitis fibrinus dan egg peritonitis. Pada sekum dan usus ditemukan adanya enteritis kataralis sampai fibrinous (Tabbu., 2000).
b. Bentuk akut (Highly Pathogenic Avian Influenza)
Apabila unggas mati dalam waktu yang singkat, maka biasanya tidak ditemukan adanya perubahan mikroskopik tertentu oleh karena lesi pada jaringan belum sempat berkembang Pada sejumlah kasus dapat ditemukan kongesti, hemoragi, transudasi dan nekrosis. Jika penyakit ini melanjut, maka kerap kali akan ditemukan adanya foki neurotik pada hati, limpa, ginjal dan paru (Tabbu., 2000).
Perubahan mikroskopik
Lesi yang ditimbulkan oleh fowl plaque ditandai adanya edema, hyperemia, hemoragik dan perivascular cuffing sel limfoid, terutama pada miokardium, limpa, paru, otak, balung dan dengan frekuensi yang lebih rendah pada hati dan ginjal. Perubahan degenerasi dan nekrosis pada hati, limpa dan ginjal. Lesi pada otak adanya foci nekrosis, perivascular cuffing sel limfoid, gliosis, proliferasi pembuluh darah dan nekrosis neuron. Beberapa virus avian influenza A yang bersifat sangat patogenik kerapkali menimbulkan nekrosis miokardium dan miokarditis (Tabbu., 2000).

Diagnosis
Koleksi sampel diambil dari saluran pernapasan (trakea, paru, kantong udara, eksudat sinus) dan saluran pencernaan (Beard., 1989). Infeksi sistemik yang disebabkan oleh virus highly pathogenic dimana terjadi viremia, setiap organ dapat digunakan untuk isolasi virus. Hewan laboratorium yang sering digunakan untuk penelitian adalah ayam, kalkun, dan itik. Virus ini juga bereplikasi pada musang, kucing, hamster, tikus, kera dan babi. Isolasi virus dapat dilakukan pada telur ayam berembrio yang SPF (Specific Pathogen Free) umur 10-11 hari, menggunakan jaringan trachea, paru-paru, limpa, otak, dan atau usapan kloaka ayam sakit atau mati karena virus bereplikasi di dalam saluran respirasi dan atau saluran pencernaan, hingga embrio mati dalam 42-72 jam (Tabbu., 2000; Nazaruddin., 2008).
Pemeriksaan serologis dapat digunakan untuk mengetahui adanya pembentukan antibodi terhadap virus avian influenza A, yang dapat diamati pada hari ke-7 sampai ke-10 pasca infeksi. Uji serologi yang sering digunakan adalah uji hemaglutinasi inhibisi (HI) untuk mengetahui adanya antibodi terhadap hemaglutinin (H) dan agar gel presipitasi (AGP) untuk mengetahui adanya antibodi terhadap neuramidase (N). Uji lain untuk mengetahui adanya pembentukan antibodi adalah netralisasi virus (VN), neuraminidase-inhibition (NI), enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), antibodi monoklonal, dan hibridisasi in situ. Pada kasus-kasus di lapangan sering menggunakan teknik immunoflourescence untuk mengetahui adanya virus influenza dengan cepat (Tabbu., 2000).

Differensial Diagnosa
Diagnosa banding dari virus avian Influenza adalah Newcastle Disease (ND), Pigeon Paramyxovirus, Infectious Bronchitis (IB), Swollen Head Syndrome (SHS), Avian Mikoplasmosis. Dari tingkat keganasannya avian Influenza mirip dengan Newcastle Disease karena gejala klinis dan perubahan patologi anatominya sama. Avian Influenza juga mirip dengan Infectious Laryngotracheitis (ILT) berdasarkan gejala gangguan pernapasan dan adanya eksudat bercampur darah dalam lumen trakhea Selain itu AI juga mirip dengan penyakit bakterial akut misalnya kolera dan colibacillosis (Nazaruddin., 2008).

Pengendalian & Pencegahan
Avian influenza tidak dapat diobati, pemberian antibiotik/antibakteri hanya untuk mengobati infeksi sekunder oleh bakteri atau mycoplasma. Pengobatan suportif dengan multivitamin perlu juga dilakukan untuk proses rehabilitasi jaringan yang rusak (Tabbu., 2000).
Tindakan pencegahan lain yang dapat dilakukan adalah mencegah kontak antara unggas dengan burung liar atau unggas liar, depopulasi atau pemusnahan terbatas di daerah tertular, pengendalian limbah peternakan unggas, surveilans dan penelusuran, pengisian kandang kembali atau peremajaan, penerapan kebersihan kandang, penempatan satu umur dalam peternakan, manajemen flock all-in/all-out, penyemprotan dengan desinfektan terhadap kandang sebelum pemasukan unggas atau ayam baru, penerapan stamping out atau pemusnahan menyeluruh di daerah tertular baru dalam menangani wabah HPAI untuk menghindari resiko terjadinya penularan kepada manusia, karena bersifat zoonosis, peningkatan kesadaran masyarakat, serta monitoring dan evaluasi (Nazaruddin., 2008).
Pencegahan yang lain adalah mencuci tangan dengan sabun cair pada air yang mengalir sebelum dan sesudah melakukan suatu pekerjaan, Tiap orang yang berhubungan dengan bahan yang berasal dari saluran cerna unggas harus menggunakan pelindung (masker, kacamata khusus), Mengkonsumsi daging ayam yang telah dimasak dengan suhu 800 C selama satu menit, telur unggas dipanaskan dengan suhu 640 C selama lima menit (Nazaruddin., 2008).



DAFTAR PUSTAKA

Kamps.; Hoffmann.; Preiser. 2007. Influenza Report. Indeks. Jakarta. Hal. 102-103

Nazaruddin., W. 2008. Avian Influenza Pada Unggas. http://www.vet-klinik.com/Perunggasan/Avian-Influenza-Pada-Unggas.html. Diakses Pada Tanggal; 2/12/2011 5:43:52

Rahardjo., Y. 2004. Avian Influenza, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan: Hasil Investigasi Kasus Lapangan. Jakarta: PT Gallus Indonesia Utama

Tabbu., C.R. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Volume I. Kanisius. Yogyakarta. Hal. 232-243.