Senin, 31 Januari 2011

RESPON IMUN

LEARNING OBJECTIVE
  1. RESPON IMUN TERHADAP INFEKSI VIRUS
  2. VAKSIN

1. Respon Imun Terhadap Infeksi Virus
Resistensi dan pemulihan pada infeksi virus bergantung pada interaksi antara virus dan inangnya. Pertahanan inang bekerja langsung pada virus atau secara tidak langsung pada replikasi virus untuk merusak atau membunuh sel yang terinfeksi. Fungsi pertahanan non-spesifik inang pada awal infeksi untuk menghancurkan virus adalah mencegah atau mengendalikan infeksi, kemudian adanya fungsi pertahanan spesifik dari inang termasuk pada infeksi virus bervariasi bergantung pada virulensi virus, dosis infeksi, dan jalur masuknya infeksi.
Sistem imun pada unggas bekerja secara umum seperti sistem imun pada mamalia. Stimulasi antigenik menginduksi respons imun yang dilakukan sistem seluler secara bersama-sama diperankan oleh makrofag, limfosit B, dan limfosit T. Makrofag memproses antigen dan menyerahkannya kepada limfosit. Limfosit B, yang berperan sebagai mediator imunitas humoral, yang mengalami transformasi menjadi sel plasma dan memproduksi antibodi. Limfosit T mengambil peran pada imunitas seluler dan mengalami diferensiasi fungsi yang berbeda sebagai sub-populasi.

Antigen eksogen masuk ke dalam tubuh melalui endosistosis atau fagositosis. Antigen-presenting cell (APC) yaitu makrofag, sel denrit, dan limfosit B merombak antigen eksogen menjadi fragmen peptida melalui jalan endositosis. Limfosit T mengeluarkan subsetnya, yaitu CD4, untuk mengenal antigen bekerja sama dengan Mayor Hystocompatablity Complex (MHC) kelas II dan dikatakan sebagai MHC kelas II restriksi. Antigen endogen dihasilkan oleh tubuh inang. Sebagai contoh adalah protein yang disintesis virus dan protein yang disintesis oleh sel kanker. Antigen endogen dirombak menjadi fraksi peptida yang selanjutnya berikatan dengan MHC kelas I pada retikulum endoplasma. Limfosit T mengeluarkan subsetnya, yaitu CD8, mengenali antigen endogen untuk berikatan dengan MHC kelas I, dan ini dikatakan sebagai MHC kelas I restriksi (Tizard., 1982).
Limfosit adalah sel yang ada di dalam tubuh hewan yang mampu mengenal dan menghancurkan bebagai determinan antigenik yang memiliki dua sifat pada respons imun khusus, yaitu spesifitas dan memori. Limfosit memiliki beberapa subset yang memiliki perbedaan fungsi dan jenis protein yang diproduksi, namun morfologinya sulit dibedakan. Limfosit berperan dalam respons imun spesifik karena setiap individu limfosit dewasa memiliki sisi ikatan khusus sebagai varian dari prototipe reseptor antigen. Reseptor antigen pada limfosit B adalah bagian membran yang berikatan dengan antibodi yang disekresikan setelah limfosit B yang mengalami diferensiasi menjadi sel fungsional, yaitu sel plasma yang disebut juga sebagai membran imunoglobulin. Reseptor antigen pada limfosit T bekerja mendeteksi bagian protein asing atau patogen asing yang masuk sel inang.
Sel limfosit B berasal dari sumsum tulang belakang dan mengalami pendewasaan pada jaringan ekivalen bursa. Jumlah sel limfosit B dalam keadaan normal berkisar antara 10 dan 15%. Setiap limfosit B memiliki 105 B cell receptor (BCR), dan setiap BCR memiliki dua tempat pengikatan yang identik. Antigen yang umum bagi sel B adalah protein yang memiliki struktur tiga dimensi. BCR dan antibodi mengikat antigen dalam bentuk aslinya. Hal ini membedakan antara sel B dan sel T, yang mengikat antigen yang sudah terproses dalam sel.
Jajaran ketiga sel limfoid adalah natural killer cells (sel NK) yang tidak memiliki reseptor antigen spesifik dan merupakan bagian dari sistem imun nonspesifik. Sel ini beredar dalam darah sebagai limfosit besar yang khusus memiliki granula spesifik yang memiliki kemampuan mengenal dan membunuh sel abnormal, seperti sel tumor dan sel yang terinfeksi oleh virus. Sel NK berperan penting dalam imunitas nonspesifik pada patogen intraseluler. Antibodi diproduksi oleh sistem imun spesifik primer pada pemulihan pada infeksi virus dan pertahanan pada serangan infeksi virus. Sel T lebih berperan pada pemulihan infeksi virus. Sitotoksik sel T (CTLs) atau CD8 berperan pada respons imun terhadap antigen virus pada sel yang diinfeksi dengan cara membunuh sel yang terinfeksi untuk mencegah penyebaran infeksi virus.
Sel T helper (CD4) adalah subset sel T yang berperan membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Limfokin disekresikan oleh sel T untuk mempengaruhi dan mengaktivasi makrofag dan sel NK sehingga meningkat secara nyata pada penyerangan virus. Patogen yang mampu dijangkau oleh antibodi adalah hanya antigen yang berada pada peredaran darah dan di luar sel, padahal beberapa bakteri patogen, parasit, dan virus perkembangan replikasinya berada di dalam sel sehingga tidak dapat dideteksi oleh antibodi. Penghancuran patogen ini membutuhkan peran limfosit T sebagai imunitas yang diperantarai oleh sel. Limfosit T mengenal sel yang terinfeksi virus, virus yang menginfeksi sel bereplikasi di dalam sel dengan memanfaatkan sistem biosintesis sel inang. Derivat antigen dari replikasi virus dikenal oleh limfosit T sitotoksik. Sel tersebut mampu mengontrol sel yang terinfeksi sebelum replikasi virus dilangsungkan secara lengkap. Sel T sitotoksik merupakan ekspresi dari molekul CD8 pada permukaannya.

Respon Imun Terhadap Viral
Interferon merupakan suatu klas glikoprotein dengan berat molekul yang bervariasi menurut cara yang dipakai untuk merangsang pembentukannya. α – IFN berasal dari leukosit yang tertulari virus, β – IFN berasal dari fibroblas yang tertulari virus dan γ – IFN suatu limfokin dari sel T yang terangsang antigen. Interferon beraksi pada sel yang tidak tertulari, dengan mendepres DNA nya sehingga sel tersebut menghasilkan protein yang dikenal sebagai protein penghambat translasi (PPT). PPT sebaliknya dapat menghambat pengambilalihan ribosom sel oleh asam ribonukleat (ARN) virus dan dengan demikian menghambat replikasi virus. (Tizard, I, 1982)

Penghancuran Virus Dan Sel Yang Tertulari Virus Oleh Antibody
Sebagai protein, kapsid virus adalah antigenik dan terhadap kapsid inilah dan terhadap amplop tanggap kebal antiviral sebagian besar ditunjukkan. Antibody dapat menghancurkan virus atau mencegah infeksi sel dengan berbagai cara. Pengikatan antibody dengan virus tidak perlu dengan sendirinya virisidal, karena pemisahan ikatan kompleks virus- antibody menyebabkan terlepasnya virus yang menulartetapi antibody dapat bertindak melindungi sel terhadap infeksi dengan jalan menghalangi absobrsi virus terselubungi antibody pada sel targetnya, merangsang fagositosis oleh makrofag, dengan memulai virolisis yang diperantai komplemen atau dengan menyebabkan penggumpalan virus, jadi mengurang jumlah satuan infeksi yang tersedia untuk invasi sel. (Tizard., 1982).

Innate Immunity & Adaptive Immunity
Mekanisme innate immunity menyediakan pertahanan awal infeksi/peradangan, beberapa mekanismenya untuk mencegah infeksi (seperti epitel barrier) dan lainnya untuk mengeliminasi mikroba (seperti fagosit, NK cell dan komplemen). Respon imun adaptive berkembang kemudian, dan ditengahi oleh limfosit dan produknya. Antibody memblok infeksi dan mengeliminasi mikroba, dan limfosit T membasmi mikroba intrasel, Gerakan respon imun innate dan adaptive diperkirakan dan mungkin bertukar-tukaran dengan infeksi yang berbeda. (Lichtman,. Abas., 2006).

Properties of adaptive immune respons
  • Feature: Functional significance
  • Specificity: Memastikan bahwa beda antigens menimbulkan tanggapan yang spesific
  • Diversity: Memungkinkan sistem kebal untuk bereaksi terhadap suatu variasi yang besar dari antigens
  • Memory: Memimpin untuk meningkatkan respon ekspose diulangi kepada yang sama antigens
  • Clonal expansion: Menambah jumlah antigen spesifik limfosit untuk menjaga jarak dengan mikroba
  • Specialization: Menghasilkan respon yang optimal untuk pertahanan terhadap tipe mikroba yang berbeda- beda
  • Contraction and homeostatis: Mengijinkan system imun untuk merespon antigen yang baru ditemui
  • Nonreactivity to self: Mencegah luka hospes selama respon terhadap antigen asing (Lichtman,. Abas, 2006).
Fase dari adaptive immune respons
Adaptive immune respons mengandung fase yang berbeda- beda, tiga yang pertama menjadi pengenalan antigen, aktivasi limfosit, dan eliminasi antigen (atau fase efektor). Respon menurun, antigen menstimulasi limfosit mati lewat proses apoptosis, pemugaran homeostasis, dan sel antigen spesifik bertahan sebagai respon menjadi sel memori. Durasi dari tiap fase mungkin bertukar-tukaran dengan immune respons yang berbeda. Proses ini terjadi pada kedua system imunitas, yaitu imunitas humoral (mediatornya adalah limfosit B) dan imunitas seluler (mediatornya adalah limfosit T). (Lichtman,. Abas, 2006)


2. Vaksin
Vaksinasi, atau imunisasi, adalah suntikan yang merangsang ketahanan tubuh kita terhadap infeksi tertentu. Misalnya, sebagian besar orang diimunisasi terhadap beberapa infeksi waktu bayi. Dibutuhkan beberapa minggu setelah disuntik sehingga sistem kekebalan tubuh bereaksi pada vaksin yang disuntikkan. Sebagian besar vaksin dipakai untuk mencegah infeksi. Tetapi, beberapa yang lain membantu tubuh kita untuk melawan infeksi yang sudah ada. Vaksin ini disebut ‘vaksin terapeutik.’ Ada beberapa vaksin terapeutik sedang diteliti dan diuji coba terhadap HIV (Anonim., 2009).
Vaksin ‘hidup’ memakai bentuk kuman yang dilemahkan. Vaksin jenis ini dapat menimbulkan penyakit yang ringan, kemudian sistem kekebalan mengambil alih untuk mencegah terhadap penyakit yang parah. Vaksin lain yang ‘dinonaktifkan’ (inactivated) tidak memakai kuman yang hidup. Dengan vaksin jenis ini, kita tidak mengalami penyakit, tetapi tubuh kita masih dapat membentuk keamanannya (Anonim., 2009).
Vaksin dapat menimbulkan efek samping. Dengan vaksin hidup, kita mungkin mengalami penyakit yang ringan. Dengan vaksin yang dinonaktifkan, kita mungkin meng- alami kesakitan, kemerahan, dan bengkak di tempat yang disuntik. Kita juga mungkin merasa lemas, kelelahan, atau mual selama waktu yang singkat (Anonim., 2009).



DAFTAR PUSTAKA


Anonim., 2009. Vaksinasi Dan HIV. Yayasan Spiritia. The AIDS InfoNet. Jakarta. http://www.aidsinfonet.org

Lichtman, Andrew, H. Abas, Abul, K. 2006. Basic Immunology. China: Saunders Elsevier

Tizard., I. 1982. Imunologi Veteriner. Philadelphia: W. B Saunders Company

PENYAKIT SISTEM GASTROINTESTINAL, SISTEM RESPIRATORIK, DAN SISTEM REPRODUKSI AKIBAT BAKTERI GRAM NEGATIF

LEARNING OBJECTIVE
1. PENYAKIT PADA SISTEM GASTROINTESTINAL, SISTEM RESPIRATORIK, DAN SISTEM REPRODUKSI YANG DISEBABKAN OLEH BAKTERI GRAM NEGATIF, MELIPUTI:
  • ETIOLOGI
  • PATOGENESIS
  • GEJALA KLINIS
  • DIAGNOSA
  • PENGENDALIAN & PENCEGAHAN


SISTEM GASTROINTESTINAL
1. Collicobasilosis
Etiologi; Kuman E. coli merupakan kuman yang selalu dapat diisolasi dari saluran pencernaan makanan. Kuman tersebut diduga sebagai penyebab utama penyakit diare. Kuman E. coli dibedakan dalam kuman yang bersifat enteropatogenik yang mengakibatkan terjadinya diare. Kuman E. coli paling banyak menyebabkan sakit pada pedet-pedet yang berumur 2-10 hari, dengan angka sakit pada kandang peternakan yang telah terinfeksi sebeser 30% (Subronto., 2003).
Patogenesis; Di dalam saluran pencernaan, kuman E. coli menghasilkan enterotoksin (endotoksin) yang dapat meningkatkan sekresi cairan dan elektrolit di dalam lumen usus. Untuk menutupi kekurangan cairan dan elektrolit, dari jaringan lain akan ditarik dan dimobilisasikan ke dalam usus. Akibat dari hal tersebut, jaringan diluar usus akan kekurangan cairan dan elektrolit hingga mengalami dehidrasi dan goncangan keseimbangan elektrolit. Asidosis yang ditimbulkan akan mengakibatkan kolap sistem peredaran darah yang mungkin segera diikuti dengan shock dan kematian (Subronto., 2003).
Gejala Klinis; Bentuk toksemia ditandai dengan kelemahan umum yang sangat, suhu tubuh sub-normal, pulsus lemah dan tidak disertai diare. Sedangkan bentuk klasik ditandai dengan diare profus, tinja berbentuk pasta atau sangat berair, warna tinja putih atau kuning, dengan bau yang sangat menusuk, dan dalam tinja kadang ditemukan darah yang segar (Subronto., 2003).
Patologi Anatomi; Jaringan umumnya kering, usus berwarna putih-kebiruan berisi gas di dalamnya, abomasum nampak pucat berisi gumpalan air susu yang berbau asam, perdarahan titik pada sub-mukosa maupun perdarahan di berbagai tempat dalam usus dan abomasum (Subronto., 2003).
Diagnosis; Hewan yang sakit perlu dieutanasi dan segera diperiksa juga hasil pemeriksaan patologi dari hewan yang sakit dapat digunakan untuk menerangkan penyebab hewan sakit serta faktor-faktor lain seperti pakan (Subronto., 2003).

2. Salmonelosis
Etiologi; Kuman-kuman Salmonela typhimurium dan S. dublin kadang-kadang S. heidelberg dan S. Saint pauli sering menyerang pedet maupun sapi dewasa (Subronto., 2003).
Patogenesis; Setelah berhasil memasuki tubuh, kuman akan memperbanyak diri dalam usus. Dalam waktu relatif singkat akan menyebabkan septisemia yang akan menyebabkan kematian. Apabila yang terjadi hanya bakteriemia hanya akan menyebabkan radang usus akut. Kuman kadang-kadang dibebaskan dari tubuh melalui tinja atau air susu (Subronto., 2003).
Gejala Klinis; Salmonelosis pedet bentuk septisemia akut ditandai dengan kelemahan umum secara mendadak, kenaikan suhu tubuh yang menyolok (40-42oC) diikuti kematian yang terjadi dalam waktu 24-48 jam. Sedangkan salmonelosis bentuk enteritis akut ditandai dengan kenaikan suhu tubuh 40-41oC serta diare yang sifatnya cair, hilangnya nafsu makan, frekuensi pulsus meningkat, kenaikan frekuensi nafas dan dangkalnya pernafasan. Pada sapi yang sedang berproduksi, salmonelosis dapat mengakibatkan terhentinya produksi susu (Subronto., 2003).
Patologi Anatomi; Pada salmonelosis bentuk septisemik perakut ditemukan tanda-tanda sepsis dan bentuk perdarahan titik dilapisan sub-mukosa dan sub-serosanya. Pada bentuk enteritis akut gambaran radang ditemukan pada usus besar maupun usus halus berupa perdarahan titik atau radang hemoragik yang difus. Kelenjar limfa usus mengalami pembesaran bersifat oedematous atau hemoragik. Pada bentuk kronik, sekum dan kolon penderita mengalami radang nekrosis dan permukaan radang tertutup oleh lapisan granulomatous berwarna kuning abu-abu (Subronto., 2003).
Diagnosis; Pada penderita yang masih hidup diagnosis secara pasti sulit dilakukan meskipun pada bedah bangkai dapat diisolasi kuman salmonela. Dalam menentukan diagnosis perlu dipertimbangkan dengan penyakit-penyakit lain terutama koksidiosis dan colibasilosis. Penentuan diagnosis pasca mati yang paling baik dilakukan dengan jalan pemeriksaan preparat tempel tebal dari mukosa kantong empedu (Subronto., 2003).


SISTEM RESPIRATORIK
1. Septisemia Ezizootika (SE)
Etiologi; Septisemia epizootika merupakan bentuk khusus dari pasteurelosis. SE disebabkan oleh Pateurella multocida serotipe B:2 di Asia, di Afrika disebabkan oleh P. multocida serotipe E:2. Penyakit SE terdapat di semua wilayah tropis dan sub-tropis. Apabila kejadian SE klinis timbul, yang berasal dari infeksi dari dalam maupun luar, sejumlah besar kuman pasteurella akan dibebaskan ke tempat sekitarnya dan dapt hidup untuk waktu relative panjang, lebih kurang 1 minggu, yang kemudian dapat menulari hewan di sekitarnya. Kuman pasteurella tidak dapat tinggal lama di dalam air maupun tanah. Kebanyakan wabah di Asia terjadi pada musim hujan meskipun kematian dapat terjadi setiap sepanjang tahun (Subronto., 2003).
Patogenesis; Infeksi berlangsung melalui saluran pencernaan dan pernafasan. Pembengkakan daerah tekak merupakan gejala awal dari penyakit. Gejala-gejala bersifat lesi dan konsisten dengan kerjaan endotoksin yang ditemukan dalam jumlah banyak dan berbentuk lipopolisakarida. Pada hewan yang rentan kematian dapat terjadi dalam waktu 24 jam (Subronto., 2003).
Gejala-gejala; Penyakit ini dztandai dengan salvias serta demam yang mencapai 40-41ºC. pada waktu penyakit berbaring hewan terlihat berbaring, malas bergerak, serta mengalami kesukaran bernafas. Tenggorokan ditandai dengan busung meluas ke daerah leher bagian ventral sampai ke gelambir dan kadang-kadang juga ke satu atau dua kaki bagian depan. Fibrinogen darah meningkat semenjak gejala mulai Nampak (Subronto., 2003).
Patologi-Anatomis; Adanya busung pada glottis dan jaringan perilaringeal maupun peritracheal. Terdapat cairan di dalam rongga dada dan pericardium dalam jumlah yang tidak begitu berlebihan. Perdarahan titik, petechiae ditemukan pada atrium di bagian bawah epikardium. Oedem, maupun perubahan radang pada paru-paru dalam berbagai tingkatan. Kelenjar limfe di dalam rongga dada perut nampak mengalami bendungan (Subronto., 2003).
Diagnosa; Kasus yang tidak disertai dengan pembengkakan daerah tekak dan leher dapat terkacaukan dengan kasus anthraks, sampar sapi atau pasteurellosis yang disebabkan oleh kuman lain. Pasteurella dapat ditemukan pada sediaan apus darah atau eksudat jaringan yang mengalami perubahan patologik, misalnya cairan busung, cairan pericardium, dan lainnya.
Dalam agar triptosetripton yang ditambah dengan yeast extract, koloni kuman dapat terbentuk . uji presipitasi secara agar gel double diffusion dan teknik fluoresen antibody telah digunakan dalam penentuan diagnosis (Subronto., 2003).
Pengendalian; Vaksin aerosol yang disemprotkan melalui lubang hidung hewan (nasal-spray) vaksin dipersiapkan dari galur B:3,4, dan merupakan kuman hidup yang dilemahkan (Subronto., 2003).


2. Infectious Coryza
Etiologi; Penyakit ini disebabkan oleh Haemophilus paragallinarum, bakteri gram-negatif, berbentuk batang pendek, tercat polar, non-motil, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob dan membutuhkan factor – V (Tabbu., 2000).
Patogenesis; Ayam yang menderita infeksi kronis atau carrier merupakan sumber utama penularan penyakit. Penyakit ini terutama ditemukan pada saat pergantian musim atau berhubungan dengan adanya berbagai jenis stress, misalnya akibat cuaca, lingkungan kandang, nutrisi, dan perlakuan vaksinasi serta penyakit imunosupresif. Penuaran secara tidak langsung dapat terjadi melalui kontak pakan atau berbagai bahan lain, alat peternakan ataupun pekerja yang tercemar bakteri penyebab penyakit ini, Penularan melalui udara juga dapat terjadi (Tabbu., 2000).
Gejala Klinis; Infectious coryza dapat ditemukan pada ayam semua umur. Ayam dewasa cenderung lebih peka disbanding dengan ayam muda. Gejala awal adalah bersin, diikuti eksudat sampai mukoid dari rongga hidung ataupun mata. Jika eksudat berlanjut maka eksudat tersebut dapat menjadi mukopururlen sampai purulen dan berbau busuk dan bercampur dengan kotoran/sisa pakan. Kmpulan eksudat tersebut akan menyebabkan pembengkakan di daerah fasial dan sekitar mata serta kelopak mata kemerahan (Tabbu., 2000).
Jika saluran pernafasan bagian bawah terkena, maka akan terdengar suara ngorok yang halus yang terdengar pada malam hari. Mengalami gangguan nafsu makan dan penuruna produksi telur, diare, morbiditas tinggi tetapi mortalitas rendah (Tabbu., 2000).
Perubahan Patologik; Penyakit ini mmneyebabkan keradangan kataralis akut pada membrane mukosa cavum nasi dan sinus, ditemukan adnaya konjungtivitis kataralis dan edema sub-kutan pada daerah fasialis dan pial. Perubahan istopatologik pad cavum nasi, sinus infraorbitalis dan trakea meliputi deskuamasi, desintegrasi dan hyperplasia lapisan mukosa dan glandularis; edema, hipermia, infiltrasi heterofil, mast cell dan makrofag di daerah tunika propria (Tabbu., 2000).
Diagnosis; Diagnosis pasti dapat dilakukan dengan isolasi dan identifikasi kuman dari kasus stadium akut, inokulasi pada ayam yang sensitive menggunakan eksudat dari ayam sakit. Uji agar presipitation (AGP), uji hemaglutinasi inhibis (HI), uji hemaglutinasi (HA) tidak langsung dan fluorescent antibody (FA) langsung (Tabbu., 2000).
Pengendalian; Menghindari membawa pullet atau ayam lain yang mungkin terinfeksi/membawa kuman Haemophillus paragallinarum ke dalam lokasi peternakan yang tidak terinfeksi. Penyakit ini dapat dicegah dengan pemberian vaksin inaktif disekitar umur 8-11 minggu dan 3-4 minggu sebelum produksi (Tabbu., 2000).


SISTEM REPRODUKSI
1. Bruselosis
Etiologi; Penyakit ini di sebabkan oleh Brucella abortus yang menyerang sapi. Cara penularan yang paling banyak adalah melalui air atau pakan yang tercemar oleh selaput janin atau cairan yang keluar dari rahim yang menderita infeksi. Ada pula penularan melalui air susu (Subronto., 2003). Brucellosis pada anjing disebabkan oleh bakteri Brucella canis, karakteristiknya terjadi abortus dan infertilitas pada hewan betina, epididimitis dan atropi testis pada jantan. Brucella canis ditransmisikan secara seksual dengan perkawinan dari jantan dan betina terinfeksi. Brucella canis pada anjing betina akan hidup di vagina dan jaringan uterin serta sekresi selama bertahun-tahun. Pada hewan jantan, bakteri Brucella hidup di testis dan cairan seminalis. Jantan terinfeksi sama bahayanya dengan hewan betina, hewan jantan dapat menyebarkan bakteri Brucella melalui urine atau semen. Sering tidak ada gejala kecuali pada kasus yang berlanjut, ukuran testis tidak sama (Tilley and Smith., 2004).
Patogenesis; Dalam percobaan dengan infeksi buatan, basil diberikan melalui mulut pada mulanya akan ditemukan pada kelenjar-kelenjar limfe di daerah kepala dan usus untuk memperbanyak diri kemudian menuju saluran limfe efferent lalu masuk ke dalam aliran darah. Dalam darah basil akan termakan oleh fagosit terikat yang terdapat di dalam darah, limpa, dan kelenjar limfe. Pada hari ke-16 kuman ini dapar ditemukan pada seluruh kelenjar limfe seluruh tubuh (Subronto., 2003).
Gejala klinis; Keluron pada masa bunting, retensi membran janin dan metritis merupakan hal yang ditemukan setelah keguguran janin (Subronto., 2003).
Diagnosa
Uji Aglutinasi Serum (SAT)
Uji aglutinasi pada sapi digunakan untuk mengenali IgM. Antigen yang digunakan dalam uji aglutinasi dibakukan terhadap standar internasional anti serum Brucella abortus yang menghasilkan aglutinasi 50% apabila direaksikan dengan antibodi yang mengandung 1,54 I.U tiap ml. Dengan mengguanakan antigen yang menghasilkan titer 1:500 pada reaksi dengan serum referensi (aglutinasi 50%). Hasil uji aglutinasi serum harus dinyatakan dalan unit internasional. Menurut FAO nilai diagnostik minimum adalah 100 I.U./ml untuk satu sapi yang tidak divaksin dan 200 I.U untuk sapi-sapi yang divaksin dengan Str.19 pada umur 8 bulan atau kurang (Subronto., 2003).
Complement Fixation Test
Uji ikat komplemen ini memiliki ketepatan dan kepekaan yang lebih besar dari uji aglutinasi serum. Serum yang tercemar baik secara bakteriologi maupun kimiawi dapat mengikat komplemen tanpa adanya antigen hingga dalam reaksi uji komplemen menghasilkan uji reaksi yang palsu. Saat ini, CFT dilakukan dalam volume mikro dengan pelat plastik yang hanya sekali pakai. Uji ikat komplemen sangat berguna untuk membedakan reaksi antibodi setelah vaksinasi yang belum lama dilakukan dengan reaksi tubuh terhadap infeksi, uji ini juga sangat berguna untuk menentukan status hewan-hewan yang tertular secara kronik (Subronto., 2003).
Rose Bengal Test
Antigen uji rose bengal terdiri atas sel-sel brucella yang diwarnai dengan rose bengal dan kemudian disuspensikan dalam larutan penyangga pada pH 3,6. Uji dilakukan pada suhu ruangan pada pelat yang digoyang-goyangkan dengan mesin atau secara manual selama 4 menit dengan menggunakan serum dan antigen yang jumlahnya sama. Reaksi yang diamati diberi nilai dalam empat tingkatan yaitu: mulai dari nol sampai penggumpalan kasar yang sempurna. Pada umumnya RBT dapat mengenali hewan yang tertular secara lebih dini dari pada uji-uji yang lain. Antigen untuk uji ini harus disimpan dalam lemari es dan hanya dikeluarkan secukupnya saja untuk pengujian. Pada suhu 4oC antigen tersebut bersifat stabil untuk masa yang panjang (Subronto., 2003).
Milk Ring Test
Sebagai antigen dalam uji serologi digunakan suspensi kuman Brucella abortus yang telah dimatikan dan diwarnai dengan Hematoksilin agar antigen tersebut tahan lama perlu ditambahkan dengan fenol (Subronto., 2003).
Antigen digunakan untuk mengetahui adanya antibodi terhadap Brucella abortus dalam air susu dan rum atau krim. Reaksi positif tergantung pada dua proses yaitu:
Aglutinin butir-butir lemak yang biasa terdapat dalam air susu. Aglutinin tersebut mampu mengumpulkan atau menyatukan butir-butir lemak yang selanjutnya akan mengapung pada permukaan air susu bila didiamkan.
Sel-sel kuman brucella yang telah diwarnai yang ditambahkan sebagai antigen akan menggumpal bila didalam air susu ditemukan antibodi terhadap Brucella abortus. Sel-sel yang telah diwarnai tersebut kemudian terkumpul dan menempel pada permukaan butir-butir lemak yang kemudian mengapung pada permukaan air susu sebagai lapisan krim yang berwarna (Subronto., 2003).
Uji cincin air susu dapat menghasilkan reaksi positif palsu apabila dilakukan pada:
  • Air susu yang baru saja diambil dari sapi. Untuk pelaksanaan uji air susu harus disimpan dingin selama 12 jam
  • Air susu yang berasal dari sapi yang menderita radang ambing
  • Air susu yang masih mengandung colostrum
  • Air susu yang berasal dari sapi-spi yang dikeringkan pada masa akhir laktasi
  • Air susu yang berasal dari sapi yang tidak tertular yang telah divaksin dengan strain 19 dalam waktu 3 bulan terakhir.
Hasil-hasil negatif palsu diperoleh apabila air susu yang diperiksa disimpan terlalu lama, dipanasi sampai 45oC atau lebih atau telah digojok terlalu kuat (Subronto., 2003).
Antigen yang terdiri atas sel-sel Br. Abortus yang telah diwarnai diteteskan pada suatu contoh air susu sebanyak 1 ml di dalam tabung reaksi yang sempit, kemudian tabung ini ditempatkan di dalam suhu 35 derajat selama 1 jam. Maka jika susu tersebut mengandung zat penolak, zat penolak ini menyebabkan menggumpalnya bakteri- bakteri tersebut. Bakteri- bakteri tersebut naik ke permukaan bersama- sama buih serta merupakan lingkaran yang berwarna ungu kebiruan, maka hasil nya menyatakan bahwa ternak yanjg diambil sampel susunya adalah positif. (Dwidjoseputro, 1998)
Pengendalian; Di negara yang telah maju industri peternakannya sasaran terhadap penyakit bruceliosis adalah pemberantasan penyakit. Pada umumnya disetujui bahwa prinsip uji dan potong merupakan cara terakhir dalam program pemberantasan.Vaksin dapat menurunkan tingkat penyakit (Subronto., 2003).

2. Vibriosis
Etiologi; Infertilitas menular disebabkan oleh dua galur kuman Campylobacter yang khas untuk spesies sapi yaitu Campylobacter fetus var. veneralis dan Campylobacter fetus var. intermidius. Varian lain yang memiliki spektrum atau jangkauan spesies inang yang lebih luas yaaitu Campylobacter fetus var. intestinalis dapat menyebabkan keluron yang bersifat sporadis pada sapi. Dalam keadaan alamiah penularan penyakit dapat terjadi melalui koitus hingga benar-benar merupakan penyakit veneralis. Pada hewan jantan pengidap kuman tersebut dapat ditemukan di preputium, selaput lendir glans penis dan urethra bagian distal. Pada hewan betina tempat infeksi kuman terdapat di dalam lumen saluran alat-alat genital yang tubuler. Infeksi secara kontak tidak pernah terjadi, sapi betina yang rentan, dara maupun sapi tua dapat tertular apabila dilakukan inseminasi buatan dengan mani dingin atau beku yang berasal dari pejantan yang sakit (Subronto., 2003).
Patogenesis; Pada hewan penderita baik jantan maupun betina biasanya penyakit terdapat sebatas pada permukaan selaput lendir saluran kelamin. Sedemikian jauh tidak dikenal perluasan penyakit ke organ-organ tubuh yang lain. Perubahan patologis biasanya bersifat ringan, berupa radang kataral dan infiltrasi limfosit. Kemajiran penderita disebabkan oleh radang endometrium (Subronto., 2003).
Gejala Klinis; Perkawinan berulang kali dengan interval 28-35 hari banyak sapi betina yang menderita menunjukkan tanda estrus dan minta kawin setelah 3-5 bulan dan hanya kira-kira 1/3 yang berhasil bunting setelah dikawinkan dua kali. Kebanyakan hewan betina yang sakit mengalami keluron setelah kebuntingan mencapai umur 5 bulan. Pada dasarnya penyakit vibriosis dapat sembuh dengan spontan (Subronto., 2003).
Diagnosis; Penentuan diagnosis didasarkan atas hasil uji kerokan pada kulup sapi jantan dan kerokan selaput lendir vagina serta pemeriksaan janin yang digugurkan. Uji bakteriologis atas sapi-sapi yang tidak bunting maupun sapi dara dilakukan pada waktu 2 hari sebelum sampai 2 hari sesudah estrus. Antibodi yang terbentuk dalam vagina dapat ditemmukan dalam lendir vagina tersebut. Uji pemeriksaan aglutinin paling baik digunakan untuk pemeriksaan status penyakit pada sekelompok ternak. Dalam uji aglutinin perlu dibedakan antara C. fetus var. veneralis dan C. fetus var. intestinalis. Dalam diagnosis banding perlu diperhatikan penyakit Trichomoniasis yang disebabkan oleh Trichomonas fetus yang sangat mirip dalam gejala klinisnya. Untuk menentukan penyebab kluron hanya dapat dilakukan melalui uji laboratorium janin, selaput-selaput janin, serum induk yang keguguran, dan penelitian terhadap kemih terutama penting untuk membedakan penyakit leptospirosis (Subronto., 2003).
Pengendalian; Vaksinasi dengan vaksin oil-adjuvant yang disiapkan dari varian veneralis dan intermedius (Subronto., 2003).



DAFTAR PUSTAKA


Dwidjoseputro. 1998. Dasar- dasar Mikrobiologi. Jakarta: Djambatan

Subronto., 2003. Ilmu Penyakit Ternak Mamalia I. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Tabbu., C.R. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya, Volume 1. Kanisius. Yogyakarta

Tilley.; Larry., P.; and Smith.; Francis., W.K. 2004. The 5-Minute Veterinary Consult Canine and Feline. 3rd edition. Lippincott Williams & Wilkins. A Wolter Kluwer Company.

Sabtu, 29 Januari 2011

TUMOR

LEARNING OBJECTIVE
1) TUMOR, MELIPUTI
  • ETIOLOGI
  • PATOGENESIS
  • GEJALA KLINIS
  • DIAGNOSA
  • RESPON RAGAWI

Tumor ada yang jinak yang disebut benigna dan ada juga yang ganas yang disebut maligna (kanker).
Sifat (Nature) Kanker. Kanker ditandai oleh perubahan fundamental dalam biologi sel, khususnya nukleus, dan ciri ini ditransmisikan dari sel ke sel melalui generasi-generasi lanjutnya secara tak terbatas. Sel demikian memiliki derajat pertumbuhan yang mandiri yang lebih besar daripada yang dimiliki oleh sel asalnya. Sel neoplastik dapat dikenal dari perubahan-perubahan dalam strukturnya, metabolismenya, sifat dan pola pertumbuhannya, dari perubahan dalam fungsi atau dalam hubungan imunologiknya dengan bagian-bagian lain tubuh. Sebagai halnya dengan semua sel, demikian juga sel neoplastik ini bergantung pada "viability" host. Apabila host mati, kanker juga mati. Maka sel kanker ialah sel yang sangat abnormal dan sifat kanker bergantung pada ciri-ciri khas sel yang membentuk tumor tersebut (Pringgoutomo., 2009).
Kanker dapat dianggap sebagai kumpulan (massa) sel yang berbeda tidak saja dari sel normal, tetapi juga yang satu dengan yang lain dan dimana terus-menerus timbul bentuk baru sebagai hasil pembelahan sel yang ireguler. Kecepatan tumbuh massa tumor ditentukan oleh kecepatan tumbuh masing-masing sel, tetapi sel-sel yang tercepat tumbuhnya itulah yang mendapat keadaan yang menguntungkan. Maka sel-sel yang paling ganas yang terus-menerus "memimpin" kecepatan tumbuh massa tumor (Pringgoutomo., 2009).

Etiologi
Perbedaan benigna dan maligna:
Benigna (Tumor)
  • Lambat
  • Encapsulated
  • Non-metastasis
  • Sel diferensiasi sempurna
  • Sel normal
  • Hanya membunuh kalau mengenai organ vital
Malignant (Kanker)
  • Cepat
  • Invasif, metastasis
  • Sel diferensiasi tidak sempurna/anaplasia
  • Sel abnormal
  • Selalu mematikanàpenanganan cepat (Kristianingrum., 2003).
Asal Kanker. Sel kanker yang menimbulkan koloni sel-sel kanker dapat timbul di setiap tempat di tubuh, pada setiap saat, dari sel yang dapat berproliferasi. Sel yang tidak dapat berproliferasi tidak dapat menimbulkan kanker. Meskipun neoplasma dapat timbul dalam daerah yang secara histologik tampak normal, biasanya ada tanda-tanda yang menunjukkan kelainan tumbuh sebelumnya, misalnya hipoplasia, hiperplasia, metaplasia atau displasia yang berarti perubahan pola, dan dalam hal demikian perubahan neoplastiknya dapat secara tiba-tiba atau bertahapan (Pringgoutomo., 2009).

Beberapa faktor yang dianggap sebagai penyebabnya antaranya ialah:
1. Faktor kimia
a. Eksogen : - Hydrokarbon Polisiklik Aromatik
  • Senyawa Azo
  • Amine Aromatik
  • Nitrosamine
  • Urethane
b. Endogen : - Hormon terutama; estrogen & cholesterol

2. Faktor Fisika: - Radiasi ion
  • Radiasi U.V.
  • Terbakar (luka)
3. Genetik: - Abnormalitas khromosom
  • Defek genetik
4. Virus : - Leukemia dan Limfosarkoma pada mencit, unggas dan ternak
  • Papillomatosis
  • Tumor mamma pada mencit
  • Tumor ginjal pada katak
  • Fibroma pada kelinci (Pringgoutomo., 2009).
Kanker mempunyai karakteristik sbb:
1. Aggresive
Secara fisiologis, sel tubuh mempunyai sistem untuk mempertahan jumlah sel tubuhnya, atau istilah nya Density Dependent Growth. Pada sel yang terkena kanker mekanisme ini tidak berfungsi. proto-oncogen yang seyogyanya bertugas memperbanyak sel jika terjadi kekurangan jumlah sel, mengalami mutasi sehingga menjadi oncogene. Keberadaan oncogene ini akhirnya menyebabkan pertumbuhan yang tidak terkendali melewati batas-batas normal.

2. Invasive
Karakter berikutnya dari kanker adalah invasive, jadi sel kanker ini bersifat merusak dan menyerang sel-sel tetangganya. Tidak seperti sel tumor benign yang cenderung terbatas pada areal tertentu saja.

3. Metastasis
Metastasis adalah salah satu ciri paling penting dan berbahaya dari kanker. Metastasis dapat di artikan menyebar ke anggota tubuh yang lain melalui pembuluh darah atau pembuluh limfe. Pada titik ini, sel kanker sudah menyebar ke bagian lain dari tubuh. (http://catatanetja.wordpress.com)

Patogenesis Pada pertumbuhan sel tumor umumnya timbul beberapa antigen baru serta asing bagi tubuh. Dengan adanya antigen tersebut, mesin imunologik didalam tubuh dapat terangsang, sehingga menimbulkan suatu reaksi imun yang dapat menghancurkan sel tumor tadi. Dengan lain perkataan sistem respons imun bukan saja berfungsi sebagai benteng pertahanan tubuh terhadap serangan kuman penyakit, akan tetapi juga dapat memegang peranan dalam menjaga timbulnya sel-sel yang abnormal didalam tubuh; keadaan seperti ini dikenal dengan nama "immunological surveillance" (Tjokronegoro., 2009).
Timbulnya antigen baru pada suatu tumor dapat disebabkan oleh dua proses, yaitu (1) hilangnya beberapa antigen yang spesifik daripada jaringan normal, dan (2) timbulnya beberapa antigen baru yang spesifik untuk tumor dan tidak terdapat pada sel-sel normal lainnya. Proses menghilangnya antigen tubuh yang baru itu agaknya berhubungan dengan proses diferensiasi fungsi sel tumor. Oleh karena fungsi beberapa system enzim didalam sel tadi berubah atau menghilang, maka akibatnya proses-proses biokimianya daripada sel tumor berbeda dengan sel yang normal (Tjokronegoro., 2009).
Antigen sel tumor ini selain spesifik juga dapat mengakibatkan suatu reaksi penolakan pada proses transplantasi, oleh karena itu antigen ini dikenal sebagai "Tumor Specific Transplantation Antigen" atau sering disingkat dengan TSTA. Selain antigen pada permukaan sel ini, sebenarnya ada pula antigen baru yang letaknya lebih kedalam sel, yaitu pada nukleusnya; akan tetapi ditinjau dari sudut imunologi, antigen-antigen tersebut lebih sukar untuk dikenal (Tjokronegoro., 2009).

Gejala klinis
Reaksi Imunologi. Pada prinsipnya reaksi imun itu dapat dibagi atas dua bagian, yaitu pertama, dengan jalan terbentuknya suatu molekul imunoglobulin yang mempunyai daya antibodi yang spesifik terhadap TSTA, dan kedua, dengan jalan terbentuknya sel-sel limfosit yang sensitif terhadap antigen itu. Dengan lain perkataan, didalam tubuh dapat terjadi dua macam reaksi imunologik, yang satu dibawakan oleh system humoral dan yang lainnya dibawakan oleh system sel. Agar respons imun dapat dimulai, maka antigen harus dilepaskan terlebih dahulu oleh sel-sel tumor dan dengan aliran darah atau limfe, akhirnya sampai kedalam limfonodus dan/atau limpa (Tjokronegoro., 2009).
Di dalam organ-organ tersebut, antigen itu akan diproses oleh sel-sel makrofag agar selanjutnya dapat bereaksi dengan sel-sel limfosit. Sel ini, yang umumnya berasal atau berada dibawah pengaruh sumsum tulang, dikenal sebagai sel limfosit-B dan setelah mengadakan kontak dengan antigen tersebut lambat laun sel ini akan berkembang dan mengalami proses diferensiasi. Sel limfosit tersebut akhirnya akan menjadi sel yang matang dan siap untuk mensintesa molekul imunoglobulin, yaitu suatu molekul yang 'mempunyai daya antibodi yang spesifik; dalam hal ini, spesifik terhadap antigen sel tumor tadi. Antibodi-antibodi yang dibentuk ternyata dapat mempunyai beberapa aktifitas; dan dari sekian banyak antibodi, yang mempunyai hubungan dengan pasang-surutnya pertumbuhan tumor hanya ada dua macam, yaitu "cytotoxic antibody" dan "enhancement antibody" (Tjokronegoro., 2009).
Antibodi yang pertama ini dapat mengaktifkan sistem komplemen didalam peredaran darah. Biasanya antibodi ini termasuk kelas IgG yang mempunyai sifat dapat mengikat sistem komplemen tadi. Selanjutnya secara proses yang bertingkat, maka seluruh komponen didalam sistem komplemen itu diaktifkan sehingga dapat berfungsi, yaitu dengan jalan melakukan pengrusakan pada membran sel tumor. Pada "enhancement antibody" keadaan yang sebaliknya akan ditemukan; dalam hal ini, justru dengan adanya antibodi tersebut, sel-sel tumor dapat tumbuh dengan baik. Agaknya antibodi ini memperlihatkan suatu daya "blocking efect" terhadap serangan imunologik yang dibawakan oleh sistem sel. Hal ini disebabkan karena antibodi tersebut ternyata hanya bereaksi dengan TSTA akan tetapi tidak mengaktifkan system komplemen. Dengan terjadinya reaksi antara antigen dan antibodi itu, maka antigenik determinan pada TSTA justru akan terlindung terhadap serangan sel-sel imun. Antigen-antigen tumor selain mengadakan kontak dengan sel-sel Iimfosit-B, juga dapat merangsang sel-sel yang berasal atau berada dibawah pengaruh kelenjar timus; sel seperti ini disebut sel-sel Iimfosit-T (Tjokronegoro., 2009).
Sel tersebut bila telah mengadakan kontak dengan antigenik determinan sel tumor, segera akan berkembang dan melakukan diferensiasi sehingga menjadi suatu sel limfosit yang peka atau sensitif. Nanti bila ada rangsangan antigen yang serupa untuk kedua kalinya, sel tersebut akan segera bereaksi dengan jalan mengeluarkan suatu zat yang disebut "Iymphokine". Zat ini mempunyai daya merangsang sel-sel fagosit diseluruh tubuh; selain sel-sel tersebut akan memperbayak diri dan mengadakan migrasi ketempat terjadinya tumor, juga dapat mengakibatkan sel-sel itu melakukan penyerangan secara fagositosis. Pengrusakan jaringan oleh sistem sel ternyata lebih bermanfaat dan hebat daripada sistem humoral (Tjokronegoro., 2009).

Diagnosa
Pada skenario merupakan papilloma yaitu tumor yang berasal dari epitel tudung atau mukosa. Secara makroskopik tumor berbentuk tonjolan atau jendolan pada permukaan kulit dan mempunya permukaan yang tidak rata. Bagian dasar dari tumor dapat lebi lebar atau lebi sempit. Sedangkan, secara mikroskopik terlihat sebagai penebalan epidermis dengan tonjolan-tonjolan stratum germinativum yang mengalami proliverasi yang sebagian masuk ke dermis.

Respon ragawi
Didalam tubuh manusia atau hewan, sebenarnya terdapat dua proses yang saling bertentangan, yaitu proses pertumbuhan tumor dan proses penolakan tumor oleh sistem imunologik tubuh. (Tjokronegoro., 2009).
Perubahan-perubahan pada respons imun atau keadaan-keadaan yang mengakibatkan lumpuhnya reaksi imunologik sehingga menyebabkan suatu tumor dapat tumbuh tanpa mendapat suatu gangguan, dapat disebabkan oleh beberapa faktor atau hal, yaitu antara Iain;
  • Umur, Umur sangat mempengaruhi kematangan system mimun respons didalam tubuh.
  • Genetika, Kelainan-kelainan genetika, dapat mengakibatkan fungsi imunologik yang abnormal pula.
  • Defisiensi imunologik, Terjadinya kekurangan pada faktor-faktor imunologik, sehingga reaksi kekebalan tidak sempurna.
  • lmunosupresif, Bila sistem imunologik tertekan,
  • Toleransi, Antigen-antigen yang spesifik seperti pada permukaan sel tumor, kadang-kadang sangat lemah, sehingga tidak cukup untuk dapat merangsang sistem respons imun.
  • "Blocking efect", Adanya antibodi yang justru melindungi TSTA dari serangan sel-sel limfosit (Tjokronegoro., 2009).
Biologi Sel. Sel itu mempunyai fungsi intern dan extern. Fungsi intern ialah untuk keperluan sel itu sendiri seperti fungsi metabolik untuk enersi dan sintesa zat-zat khusus untuk sel tersebut sesuai dengan diferensiasi sel-sel didalam tubuh. Fungsi extern misalnya pembuatan insulin oleh sel pankreas, sintesa hemoglobin oleh sel darah merah, pembuatan hormon-hormon oleh sel hipofisa dan sebagainya. Pada sel-sel yang cepat mati dan perlu diperbaharui, seperti sel kulit, rambut, mukosa usus maka fungsi intern lainnya ialah mitosis, yaitu memperbanyak diri dengan repplikasi. Tumor ganas itu berkembangbiak cepat sekali maka dari itu obat anti-kanker itu banyak ditujukan kepada proses mitosis sel tumor ganas tersebut. Sel tumor itu berbeda dari pada sel-sel normal, yaitu kekurangan dalam perlengkapan biokimianya untuk menjadi sel dewasa yang terdiferensiasi. Selain dari pada itu sel tumor kehilangan kepekaannya terhadap zat dan faktor pengontrol pertumbuhan, seperti inhibisi-kontak dan mekanisme "humoral feedback" (Rasad., 2009).



DAFTAR PUSTAKA

 
Anonim., http://catatanetja.wordpress.com/2007/09/15/tumor/.

Kristianingrum., Y.P; Tabbu., C.R.; Sutrisno., B. 2003. Patologi Umum. Bagian Patologi. FKH. UGM

Pringgoutomo., S. 2009. Kanker. Majalah Triwulan Cermin Dunia Kedokteran. P.T. Kalbe Farma.

Rasad., A. 2009. Obat-Obat Kanker. Majalah Triwulan Cermin Dunia Kedokteran. P.T. Kalbe Farma.

Tjokronegoro., A. 2009. Imunologi Tumor. Majalah Triwulan Cermin Dunia Kedokteran. P.T. Kalbe Farma.

RINGWORM

LEARNING OBJECTIVE
1. RINGWORM, MELIPUTI:

  • ETIOLOGI
  • PATOGENESIS
  • GEJALA KLINIS
  • DIAGNOSA
  • PENANGANAN & PENGENDALIAN

Etiologi
Ringworm atau dermatofitosis adalah infeksi oleh cendawan pada bagian kutan/superfisial atau bagian dari jaringan lain yang mengandung keratin (bulu, kuku, rambut dan tanduk). Trichopyton spp dan Microsporum spp, merupakan 2 jenis kapang yang menjadi penyebab utama ringworm pada hewan. Di Indonesia yang menonjol diserang adalah anjing, kucing dan sapi.
Penyebab ringworm ialah cendawan dermatofit yaitu sekelompok cendawan dari genus Epidermophyton, Microsporum dan Trichophyton. Cendawan dermatofit penyebab ringworm menurut taksonomi tergolong fungi imperfekti (Deuteromycetes), karena pembiakannya dilakukan secara aseksual, namun ada juga yang secara seksual tergolong Ascomycetes (Ahmad., R.Z. 2009).

Divisi         : Amastigomycotina.
Sub-Divisi : Ascomycotina
Klas          : Deuteromycetes
Ordo         : Moniliales
Family        : Moniliaceae
Genus        : Microsporum, Trichophyton 
Species      : M. canis, M. gypseum, T.mentagrophytes

M. canis bersifat ectothrix dan zoofilik yang terdapat pada kucing, anjing, kuda, dan kelinci, gambaran mikroskopis dari kultur adalah macroconidia berbentuk spindle, berdinding tebal dan kasar. Microconidia berbentuk clubbing dan berdnding halus, sedangkan M. gypseum bersifat ectothrix dan geofilik. Gambaran makroskopisnya macroconidia berbentuk spindle, dinding tipis 3-6 septa, dan microconidianya sedikit dan berbentuk clubbing (Pohan., A. 2009).

Patogenesis
Sebaran geografis keberadaannya cukup luas, namun penyakit ini lebih banyak ditemukan di daerah beriklim tropis dan subtropis, terutama daerah dengan kondisi udara panas dan kelembaban yang tinggi. Kemudian pada daerah yang mempunyai empat musim, setelah periode multiplikasi kapang pada bulu selama musim panas. Penyebaran infeksi dapat terjadi karena luka, bekas luka atau patahan bulu untuk melangsungkan hidupnya. Dapat tumbuh pada lingkungan kering, dingin, aerobik serta tanpa mikroorganisme lain dan terlindung dari sinar matahari.
Di negara-negara yang beriklim subtropik atau dingin, kejadian ringworm lebih sering, karena dalam bulan-bulan musim dingin, hewan-hewan selain kurang menerima sinar matahari secara langsung, juga sering bersama-sama di kandang, sehingga kontak langsung di antara sesama individu lebih banyak terjadi.
Cara penularan jamur dapat secara langsung dan secara tidak langsung. Penularan langsung dapat secara fomitis, epitel, rambut-rambut yang mengandung jamur baik dari manusia, binatang atau dari tanah. Penularan tak langsung dapat melalui tanaman, kayu yang dihinggapi jamur, barang-barang atau pakaian, debu atau air. Disamping cara penularan tersebut diatas, untuk timbulnya kelainan-kelainan di kulit tergantung dari beberapa faktor seperti faktor virulensi dari dermatofita, faktor trauma, kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil, factor suhu dan kelembaban, kurangnya kebersihan dan faktor umur dan jenis kelamin (Ahmad., R.Z. 2009).

Gejala klinis
  • Kerusakan bulu di seluruh muka, hidung dan telinga
  • Perubahan yang tampak pada kulit berupa lingkaran atau cincin dengan batas jelas dan umumnya dijumpai di daerah leher, muka terutama sekitar mulut, pada kaki dan perut bagian bawah
  • Selanjutnya terjadi keropeng, lepuh dan kerak, dan dibagian keropeng biasanya bagian tengahnya kurang aktif, sedangkan pertumbuhan aktif terdapat pada bulu berupa kekusutan, rapuh dan akhirnya patah (Ahmad., R.Z. 2009).
  • Umumnya gejala-gejala klinik yang ditimbulkan oleh golongan geofilik pada manusia bersifat akut dan sedang dan lebih mudah sembuh.
  • Dermatofita yang antropofilik terutama menyerang manusia, karena memilih manusia sebagai hospes tetapnya.
  • Golongan jamur ini dapat menyebabkan perjalanan penyakit menjadi menahun dan residif, karena reaksi penolakan tubuh yang sangat ringan.
  • Contoh jamur yang antropofilik ialah: Mikrosporon audoinii Trikofiton rubrum. (Boel., T. 2009).
Diagnosa
Untuk mendiagnosa melalui pemeriksaan laboratorium diperlukan sampel kerokan kulit, serpihan kuku, rambut. Kemudian dapat diperiksa dengan Wood light, atau pemeriksaan langsung dengan mikroskop dengan KOH, atau pewarnaan, atau dengan membuat biakan pada media.
Penyakit ini dapat dikelirukan dengan lesi yang diperlihatkan seperti gigitan serangga, urtikaria, infeksi bakteri dan dermatitis lainnya, namun dengan adanya bentuk cincin pada derah yang terinfeksi dan peneguhan diagnose dengan pemeriksaan laboratorium akan memastikan bahwa hewan tersebut menderita penyakit (Ahmad., R.Z. 2009).

Penanganan & pengendalian
Pencegahan yang dapat dilakukan adalah sanitasi kesehatan, lingkungan maupun hewannya. Terdapat 5 kelompok macam obat dengan berbagai cara dapat dipakai untuk menghilangkan dermatofit, yaitu: (1). Iritan, dilakukan untuk membuat reaksi radang sehingga tidak terjadi infeksi dermatofit; (2). Keratolitik, digunakan untuk menghilangkan dermatofit yang hidup pada stratum korneum; (3) Fungisidal, secara langsung merusak dan membunuh dermatofit; (4). Perubah. Merubah dari stadium aktif menjadi tidak aktif pada rambut.
Salah satu cara yang efektif untuk penanggulangan adalah mencegah penyebaran sehingga tidak terjadi endemik, peningkatkan masalah kebersihan, perbaikan gizi dan tata laksana pemeliharaan. Hewan kesayangan harus terawat dengan cara memandikan secara teratur, pemberian makanan yang sehat dan bergizi sangat diperlukan untuk anjing dan kucing. Vaksinasi adalah pencegahan yang baik. Di Indonesia pemakaian vaksin dermatofit belum dilaksanakan. Pengobatan dapat dilakukan secara sistemik dan topikal. Secara sistemik dengan preparat Griseofulvin, Natamycin, dan azole peroral maupun intravena dengan cara topikal menggunakan fungisida topikal dengan berulang kali, setelah itu kulit hewan penderita tersebut disikat sampai keraknya bersih; setelah itu dioles atau digosok pada tempat yang terinfeksi. Selain itu, dapat pula dengan obat tradisional seperti daun ketepeng (Cassia alata), Euphorbia prostate dan E. thyophylia (Ahmad., R.Z. 2009).



DAFTAR PUSTAKA


Ahmad., R.Z. 2009. Permasalahan & Penanggulangan Ring Worm Pada Hewan. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. Balai Penelitian Veteriner. Bogor.

Boel., T. 2009. Mikosis superficial. Fakultas kedoteran gigi. Universitas Sumatera Utara.

Pohan., A. 2009. Bahan Kuliah Mikologi. arthur@fk.unair.ac.id.

MIKOSIS & MIKOTOKSIKOSIS

LEARNING OBJECTIVE
1) MIKOSIS & MIKOTOKSIKOSIS, MELIPUTI:
  • ETIOLOGI
  • PATOGENESIS
  • GEJALA KLINIS
  • DIAGNOSA
  • PENANGANAN

Mikosis & Mikotoksikosis, Meliputi:
Apergillus sp termasuk dalam ordo; Thallophyta, filum; Eumycophyta, klas: Ascomycetes. Aspergillosis merupakan penyakit pernapasan yang disebabkan oleh jamur dan tersifat oleh adanya gangguan pernafasan yang berat. Penyakit ini disebut juga brooder pneumonia, mycotic pneumonia, dan fungal pneumonia. Infeksi yang disebabkan oleh jamur pada berbagai organ yang dapat menimbulkan penyakit dinamakan mikosis. Berbagai jenis jamur dapat tumbuh pada pakan atau berbagai bahan baku pakan dan menghasilkan toksin (mikotoksin), yang dapat menimbulkan penyakit disebut mikotoksikosis. Aspergillosis bentuk akut dapat ditemukan pada ayam muda dengan morbiditasa & mortalitas ringgi sedangkan bentuk kronis pada ayam tua morbiditas & mortalitas rendah. Factor-faktor pendukung aspergillosis adalah kandang dengan ventilasi yang kurang memadai, kandang berdebu, kandang dengan kelembapan tinggi, dan temperature relative tinggi (> 25ºC), kadar amoniak tinggi, litter basah dan lembap, pakan lembap dan berjamur, penyakit imunosupresif (gumboro), dan temperature pemanas yang rendah pada saat pemeliharaan DOC (Tabbu., 2000).
Syarat tumbuh jamur meliputi beberapa hal seperti; pH 3,8 – 5,6. Suhu optimum; 22 – 30ºC (saprofit), 30 – 37ºC (parasit). Gas; aerobic obligat (kapang), fakultatif (khamir). Peka terhadap cahaya. Kadar gula; 4 – 5%. Karbon; organic. Kerentanan antibiotic; resisten terhadap penisili, tetrasiklin, dan kloramfenikol, peka terhadap griseofulvin (Pelczar., 1986).
Racun (toksikan atau toksik) merupakan bahan padat, cair, atau gas yang dapat mempengaruhi proses kehidupan sel di dalam tubuh hewan/manusia, jika bahan tersebut kontak dengan hewan/manusia. Racun merupakan agen kemoterapeutik yang dapat berasal dari bahan toksik yang berhubungan dengan pakan, bahan toksik yang berhubungan dengan kandang dan litter, keracunan disinfektan dan fumigan, herbisida, insektisida, rodentisida, dan moluskasida, keracunan gas beracun, toksikan asal industri dan fitotoksin (Tabbu., 2002).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan mikotoksin adalah iklim, jenis tanaman, kepekaan tanaman, jenis fungi pencemar, adanya kerusakan mekanik atau kerusakan akibat insekta pada tanaman, penggunaan fungisida pada waktu panen, kondisi penyimpanan, dan cara penanganan pasca panen. Beberapa factor yang menyebabkan mikotoksin sulit dikontrol di Asia, termasuk Indonesia adalah pencemaran mikotoksin yang bersifat multiple, struktur kimia yang sangat stabil, kondisi iklim yang sangat berfluktuatif, dan fasilitas pengeringan, penyimpanan dan mesin giling yang kurang memadai. Penyakit yang ditimbulkan oleh beberapa mikotoksin yang penting pada unggas, meliputi aflatoksin, trikotesen, okratoksin, zearalenon, sitrinin, fumonisin, fusarokromanon, rubratoksin, ergot, moniliformin, oosporein, sterigmatosistin, patulin, dan asam siklopiazonat.

Penyakit yang Disebabkan oleh Aflatoksin
Penyakit yang disebabkan oleh aflatoksin disebut aflatoksikosis. Aflatoksikosi merupakan mikotoksin yang bersifat sangat toksik dan karsinogenik, yang dihasilkan oleh A. flavus, A. parasiticus, dan Penicilum puberulum. Pakan ayam dan bahan baku pakan ayam sangat baik untuk pertumbuhan fungi dan pembentukan aflatoksin. Pencemaran aflatoksin pada makanan dan pakan sering terjadi pada daerah topis dan sub-tropis, karean temperature dan kelembapan pad a daerah tersebut memberikan kondisi yang optimal untuk pertumbuhan fungi. Aflatoksin terdiri dari beberapa jenis, yaitu aflatoksin B1 & B2 yang berwarna biru (B), dan aflatoksin G1 & G2 yang berwarna hijau (G).
Aflatoksin B1 merupakan jenis yang paling toksik dan memepunyai efek primer yang bersifat hepatotoksik pada berbagai jenis hewan, termasuk ayam. Keracunan aflatoksin dapat menimbulkan tumor pada kandung empedu, pancreas, saluran urinarius, dan tulang. Aflatoksin B1 merupakan metabolit yang paling sering menimbulkan tumor dan dapat di temukan pada bungkil kacang tanah, jagung , biji kapas, dan berbagai jenis biji-bijian, dan minyak nabati.
Aflatoksin bersifat imunosupresif dan karsinogenik; aflatoksin B1 dengan kadar 1,0 ppm atau lebih dapat menimbulkan sejumlah morbiditas dan mortalitas. Jika kadar aflatokisn B1 mencapai 500 – 1000 ppb maka dapat menimbulkan hambatan pertumbuhan dan penurunan efisiensi pakan dan jika kadar bahan tersebut diantara 200 – 500 ppb, maka dapat terjadi efek imunosupresif (Tabbu., 2002).

Etiologi
Aspergillosis pada unggas terutama disebabkan Aspergillus flavus, A. terrus, A. glaucus, A. nidulans, A. niger, A. amstelodami, dan A. nigrescens. Struktur reproduksinya (konidia) dapat tersebar di udara pada berbagai lingkungan. Spora Aspergillus. sp dapat sangat tahan pada berbagai lingkungan (Tabbu., 2000).

Patogenesis
Rute utama jalannya aspergillosis adalah dengan cara menghirup spora dalam jumlah yang banyak, juga dapat melalui telur dan dapat menyebabkan penurunan daya tetas serta peningkatan kematian embrio. DOC dan anak ayam umur 2 hari dapat di infeksi secara buatan dengan spora A. fumigatus melalui pencemaran incubator. Anak aam umur > 3 hari ternyata tahan terhadap infeksi buatan dengan spora (Tabbu., 2000).

Gejala klinis
Masa inkubasi aspergillosis sekitar 4 – 10 hari dan proses penyakit dapat berlangsung sekitar 2 sampai beberapa minggu, yang dapat ditemukan dalam benuk akut dan kronis.
Bentuk Akut
  • Kesulitan (dyspnoe)
  • Kehilangan nafsu makan
  • Mengantuk
  • Peningkatan frekuensi pernapasan
  • Paralisis
  • Kejang-kejang
  • Jika disertai penyakit yang lain seperti chronic respiratory disease (CRD), infectious bronchitis (IB), dan lain-lain maka akan terdengar suar ngorok.
Bentuk Kronis
  • Kehilangan nafsu makan
  • Bernapas dengan mulut
  • Emasiasi
  • Sianosis (kebiruan pada kulit di daerah kepala dan jengger), dan dapat berakhir kematian (Tabbu., 2000).
Diagnosa
Perubahan Makroskopik
Lesi awal meliputi nodule kaseus kecil berwarna kekuningan di daerah jaringan paru. Kadang ditemukan adanya ascites yang tercampur cairan berwarna merah, plaque akan terhat lebih besar dan meningkat jumlahnya pada permukaan kantong udara dan kerapkali membentuk agregat. Organism tersebut biasanya mengalami sporulasi pada permukaan lesi kaseus dan permukaan kantong udara menebal, ditandai adanya pertumbuhan jamur yang berwarna kelabu-kehijauan. Pada flamingo, dapat juga ditemukan adanya suatu selaput yang mengandung mycelia yang menutupi mukosa bronki, disamping adanya nodule pada paru. Pada siring, kadang-kadang ditemukan adanya eksudat kaseus dan mycelia, yang bercampur dengan eksudat mukopurulen. Pada brooder pneumonia, akan ditemukan adanya mikroabses pada jaringan paru. Aspergillosis bentuk sistemik dapat menunjukkan adanya lesi pada hati, usus, dan otak.

Perubahan Mikroskopik
Lesi pada stadium awal tersifat oleh adanya timbunan limfosit, sejumlah makrofag, dan beberapa giant cell, yang bersifat fokal. Pada stadium selanjutnya, maka lesi akan berkembang menjadi granuloma yang terdiri atas daerah nekrosis sentral yang mengandung heterofil dan dikelilingi oleh makrofag, giant cells, limfosit, dan sejumlah jaringan ikat. Pada pengecatan Periodic Acid Schiff (PAS) Reaction, dapat dubuktikan adanya hyphae di daerah jaringan nekrosis (Tabbu., 2000).

Penanganan
Pengamanan biologis yang ketat dan pelaksanaan aspek manajemen lainnya secara optimal diperlukan untuk menghilangkan factor pendukug sumber infeksi aspergillosis. Kualitas litter dan pakan supaya dijaga ketat, terutama terhadap kelembapan dan pencemaran oleh jamur. Kandang dan perlengkapannya (tempat pakan & minum), gudang penyimpanan pakan/bahan baku pakan, dan litter supaya disanitasi/didesinfeksi dengan bahan anti jamur, misalnya nistatin atau larutan CuSO4. Pemeriksaan laboatorik kemungkinan adanya pencemaran jamur pada peralatan dan lingkungan inkubator secara periodik. Sanitasi telur juga perlu dilakukan untuk mencegah pencemaran Aspergillus sp (Tabbu., 2000).



DAFTAR PUSTAKA


Tabbu., C.R. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya, Volume 1. Kanisius. Yogyakarta. Hal. 142 – 150

Tabbu., C.R. 2002. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya, Volume 2. Kanisius. Yogyakarta. Hal. 164 – 166 & 191

Pelczar., M.J.; Chan., E.C.S.; Pelczar., M.F.; Terjemahan Hadioetomo., et all. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi. UI press. Jakarta. Hal. 199

Quinn., P.J,; Markey., B.K,; Carter., M.E,; Donnely., W.J.C.; Leonard., F.C.; Maghire., D. 2002. Veterinary Microbiollogy and Microbial Disease. Blackwell Science.

PENYAKIT SURRA

LEARNING OBJECTIVE
1) PENYAKIT SURRA
  • ETIOLOGIS
  • PATOGENESIS & RESPON RAGAWI
  • GEJALA KLINIS
  • DIFFERENTIAL DIAGNOSA
  • DIAGNOSIS
  • PROGNOSA
  • PENANGANAN

Trypanosomiasis (Surra)
Etilogik : Trypanosoma evansi
Lokasi : darah, limpa, dan cairan serebrospinal
Penularan : mekanik murni oleh vektor, puncaknya pada siang hari, congenital lewat induk atau plasma, mukosa kelamin, mukosa usus, dan luka terbuka. Di tubuh lalat hidup bertahan selama kurang lebih 6-12 jam.
Patogenesis
Vektor utama adalah lalat dan nyamuk (Stomoxys calcitrans, Lyperosia, Glossina dan Tabanus). Trypanosoma evansi diketahui hanya berbentuk tunggal (monomorfik) berbeda dengan spesies lain yang berbentuk ganda (pleomorfik). Dalam keadaan tertentu, protozoa ini tidak dapat tertangkap saat dilakukan pemeriksaan karena dapat bersembunyi di dalam kelenjar limfe (Subronto, 2006).
Penyakit Tripanosomiasis ditularkan secara mekanik melalui gigitan vektor setelah ia menghisap darah penderita, baik hewan ternak maupun anjing. Setelah memasuki peredaran darah, trypanosoma segera memperbanyak diri secara biner. Dalam waktu pendek penderita mengalami parasitemia dan suhu tubuh biasanya mengalami kenaikan. Sel darah penderita yang tersensitisasi oleh parasit segera dikenali oleh makrofag dan dimakan oleh sel darah putih tersebut. Bila sel darah merah yang dimakan makrofag cukup banyak anjing penderita segera mengalami anemia normositik dan normokromik. Sebagai akibat anemia, penderita tampak lesu, malas bergerak, bulu kusam, nafsu makan menurun dan mungkin juga terjadi oedem di bawah kulit maupun serosa (Subronto, 2006).
Jenis Trypanosoma yang dalam siklus hidupnya hanya terdapat satu stadium, contoh T. Equiperdum dan T. Evansi, disebut monomorf, dan perlipatgandaannya berlangsung dengan pembelahan biner. Trypanosoma yang dalam hidupnya terdapat 2 atau lebih stadium, disebut polimorf, contoh: T. Gambiense, T. Rhodesiense, T. Brucei, dan sebagainya.
Dalam tubuh vertebrata, stadium terakhirnya adalah Trypanosoma. Jika bersama darah stadium tadi ditelan oleh serangga, dalam saluran pencernaan parasit itu mengalami perubahanbentuk melalui satu atau lebih stadium, yaitu stadium Leishmania, Leptomonas, atau chritidia. Tiga macam stadium itu tidak infektif bagi vertbrata. Stadium yang infektif adalah tripanosoma metasiklik. Parasit bentuk infektif ini dikeluarkan bersama tinja serangga, dan penularan terjadi bila tinja yang mengandung tripanosoma metasiklik itu kontak langsung dengan kulit vertebrata inang. Masuknya parasit bentuk infektif ke dalam tubuh inang dipermudah oleh luka karena gigitan serangga atau karena luka goresan atau garukan (Mukayat, 1987).
Gejala Klinis
  • Suhu badan naik, demam bersalng-seling, anemi, muka pucat
  • Nafsu makan berkurang, sapi menjadi kurus dan berat badan menurun
  • Penderita tak mampu bekerja karena letih
  • Bulu rontok, kelihatan kotor, kering seperti sisik
  • Terjadi gerakan berputar-putar tanpa arah, bila parasit ini menyerang otak atau syaraf (Girisonta, 1995).
Differential Diagnosa
T. congolense; Di daerah Afrika sub sahara, penyebab nagana (sleeping sickness), lebih patogen daripada brucei, pada sapi, kerbau dan hewan liar, didapat di dalam darah, bentuk dalam darah: kecil (8 – 12 μ), membrana undulan jarang terlihat tidak ada flagela bebas, ditularkan oleh lalat tse-tse, mekanis oleh lalat penggigit.
T. vivax; Kadang-kadang bersama dengan T. Brucei dan T. Congolense, patogenitas lebih ringan pada sapi, di daerah Afrika sub-sahara, panjangnya: 20 – 27 μ, posterior membulat satu flagellum bebas, membrana undulans tidak jelas, kinetoplas besar di terminal.
T. brucei; Berparasit pada semua mamalia, ruminansia liar di Afrika, bersifat fatal, penyebab penyakit nagana, ruminan liar sebagai reservoir, T. gambiense dan T. Rhodesiense → penyakit tidur di Afrika pada manusia.
T. gambiense pada sapi; Bentuk lebih langsing, buntak, berparasit dalam darah, limfe dan cairan cerebrospinal, ukuran ± 29 μ – 42 μ, posterior meruncing, kinetoplas 4 μ dari ujung, flagella bebas dan panjang, penularan: lalat tse-tse (genus Glossina), berbiak dalam darah atau limfe, pembelahan ganda memanjang, lokasi di lalat: di usus bagian tengah → 10 hari trypomastigot → proventrikulus → oesophagus → faring → kelenjar ludah → epimastigot → tripometasiklik pendek → diinfeksikan ke hospes saat menghisap darah, penularan lalat tse-tse, lalat kuda dan Tabanidae → vektor mekanis.
T. equinum; Terdapat di Amerika Selatan, menyebabkan mal de caderas pada kuda (sapi, anjing, domba, kambing), mirip dengan penyakit surra, beda dengan T. evansi (tidak ada kinetoplas), mungkin penjelmaan dari T. Evansi, morfologi: → 35 μm, vektor: Tabanidae (Stomoxys), pada kuda berjalan secara kronis, kehilangan tenaga → kelumpuhan.
T. equiperdum; Ada di seluruh dunia, pada kuda, sapi, keledai → penyakit dourine, ditemukan pada darah dan limfe, menyerupai evansi, tetapi menyebabkan penyakit kelamin, ditularkan melalui coitus (kawin). Morfologi: 16 – 35 μm, monomorf, kinetoplas sub-terminal, plasma bergranula. Berjalan klinis pada 3 stadium: organ genital – kulit – saraf pusat (CNS) setelah 1 – 4 minggu inkubasi → stadium primer (genitas ) → oedem, keradangan di penis, praeputium dan organ genital lain → beberapa jam → ulcer. Pada betina → vaginitis → disertai demam. Stadium sekunder → urtikaria → reaksi dermatologis → hemoragi kulit. Stadium tertier → gangguan sistem saraf pusat → paralisa → refleks extremitas menurun → gangguan beberapa nervus mata/muka. Pada dourine, menciri pada sekresi cairan genital, infeksi kulit,preparat apus darah → parasitemia kuat saja. Diagnosa immunologis: CBR.
T. theileri; Berparasit dalam darah sapi di seluruh dunia, biasanya tidak patogen, bentuk relatif besar, 35 – 70 μm (120 μm pernah dilaporkan), ditularkan oleh Tabanus dan haematopota, ujung posterior panjang dan runcing, membarana undulan jelas flagela bebas, dalam darah: tripomastigot – epimastigot, ditularkan melalui tinja lalat, pada beberapa kasus produksi susu mengalami penurunan dan aborsi,
T. rangeli; Parasit pada darah anjing, kucing, kera di Amerika selatan dan tengah, Non-patogen, harus dibedakan dengan T. Cruzi, ukuran 26 – 36 μm, kinetoplas kecil, reproduksi binary fission, ditularkan oleh kutu pencium dengan pencemaran tinja.
Trypanosoma cruzi (chagas disease); Berparasit pada manusia di Amerika Selatan dan tengah, pada hewan liar, armadillo, kus – kus → reservoir (termasuk tikus), 5 juta orang terinfeksi di Brazil 2 juta di venezuella/Columbia, penyakit serius dan mematikan pada manusia (37 juta di seluruh dunia terinfeksi) bentuk tripomastigot di darah, tetapi tidak membiak masuk ke dalam retikuloendotelial dan otot melintang → amastigot → berbiak predileksi di urat daging jantung, tripomastigot: 16 – 20 μm, posterior runcing, flagela bebas, membrana undulan sempit, vektor: kutu pencium hemiptera, gambaran penyakit: kerusakan organ dalam, sistem syaraf pusat. Otot jantung → rusak, berbahaya pada anak kecil.

Diagnosis
Penentuan diagnosis didasarkan pada ditemukannya parasit dalam pemeriksan darah natif atau dengan pengecatan HE atau dengan trypan-blue (Subronto, 2006).
Pada stadium akut atau awal dari penyakit ini tripanosoma dapat ditemukan di dalam aliran darah perifer. Usapan darah tebal lebih baik dipakai daripada usapan darah tipis pada pemeriksaaan ini. Protozoa ini lebih banyak ditemukan di dalam kelenjar limfa. Mereka juga dapat ditemukan di dalam usapan cairan yang diperoleh dari tusukan kelenjar limfa yang segar atau yang telah diwarnai. Pada stadium lebih lanjut dapat ditemui pada cairan serebrospinal (Levine., N.D. 1995).

Prognosa
Sebagian besar hewan yang terkena penyakit tripanosomiasis ini mengalami kematian. Penyakit ini lebih menahun pada sapi dan banyak yang menjadi sembuh. Pada kuda, bagal, dan keledai sangat rentan, serta domba, kambing, dan onta juga sangat rentan, tanda-tandanya sangat mirip dengan kuda (Levine., N.D. 1995).

Penanganan
Tindakan-tindakan preventive terhadap tripanosomiasis meliputi tndakan-tindakan yang ditujukan kepada hospes-hospes pengelolaan ternak, melenyapkan hospes reservoir, menghindakan kontaminasi mekanis yang tidak disengaja, pengelolaan penggunaan tanah, dan pengendalian biologic. Survey terus-menerusdan pengobatan atau penyembelihan semua hewan yang terserang dan pengobatan secara missal secara periodic semua hewan. Meenyapkan tempat perindukan secara besar-besaran karena lalat berkembang biak di bawah semak-semak sepanjang sungai atau di lokasi-lokasi lain yang bersemak. Pelepasan jantan-jantan steril untuk mengendalikan dan penyemprotan tanah dengan DDT (Levine., N.D. 1995).
Untuk menyembuhkan infeksi T. evansi pada kuda dan anjing WHO menganjurkan pemakaian kuinapiramin (antrycide), diberikan secara subkutan sebagai sulfat yang dilarutkan dalam konsentrasi 10% dalam air dingin; dosisnya 5 mg/kg berat badan (Levine., N.D. 1995).
Suramin larutan 10%, dosis 10 mg/kg berat badan, disuntikkan IV, diminazene aceturat, dosis 3,5 mg/kg, disuntikkan IM, dan isometamedium, dosis 0,25 – 0,5 mg/kg disuntikkan IM (Subronto., 2006).


DAFTAR PUSTAKA


Girisonta., 1995. Petunjuk Praktis Beternak Sapi Perah. Kanisius. Yogyakarta.

Levine., N.D. 1995. Protozoologi Veteriner. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Mukayat., D Brotowidjoyo. Parasit dan Parasitisme. Jakarta: PT Melton Putra

Subronto., 2006. Penyakit Infeksi Parasit & Mikroba pada Anjing & Kucing. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

INFEKSI PROTOZOA SALURAN PENCERNAAN

LEARNING OBJECTIVE
1. PENYAKIT YANG DISEBABKAN OLEH PROTOZOA SEL PENCERNAAN, MELIPUTI:
  • ETIOLOGIS
  • PATOLOGIS
  • GEJALA KLINIS
  • DIAGNOSIS, &
  • PENANGANAN/PENGENDALIAN PENYAKIT

Balantidium coli
Balantidium coli adalah parasit protozoa yang terbesar yang menginfeksi orang. Organisme ini dijumpai pada daerah tropis dan juga daerah sub-tropis. Pada dasarnya protozoa ini berparasit pada babi, sedangkan strain yang ada, beradaptasi terhadap hospes definitif lainnya termasuk orang. Protozoa B. coli hidup dalam caecum dan colon manusia, babi, marmot, tikus dan hewan mamalia lainnya.
Trophozoit akan memperbanyak diri dengan pembelahan. Konjugasi hanya terjadi pada pemupukan buatan, secara alamiah jarang terjadi konjugasi. Fase cyste terjadi pada waktu inaktif dari parasit dan tidak terjadi reproduksi secara sexual ataupun asexual. Precyste terjadi setelah keluar melalui feses yang merupakan faktor yang penting dari epidemiologi penyakit. Infeksi terjadi bila cyste termakan oleh hospes yang biasanya terjadi karena kontaminasi makanan dan minuman. Balantiudium coli biasanya mati pada pH 5,0; infeksi terjadi bila orang mengalami kondisi yang buruk seperti malnutrisi dengan perut dalam kondisi mengandung asam lemah.
Patologik; Pada kondisi biasa, trophozoit memakan organisme paramaecium dan partikel kecil jaringan. Tetapi kadang protozoa dapat memproduksi enzim proteolytic yang dapat mendigesti epithel intestinum dari hospes. Organisme juga memproduksi hyaluronidase yaitu enzim yang dapat memperbesar ulcer. Ulcer (borok) biasanya berbentuk kerucut dengan leher kecil seperti kubangan dalam submukosa (seperti ulcer dari amebik). Koloni dari ulcer tersebut menyebabkan terjadinya infiltrasi sel radang lympocyte, polymorphonuklear leukosit dan perdarahan. Bila kejadian berlanjut dapat meyebabkan perforasi dari usus besar dan menyebabkan dysentri. Pada fase ini sering terjadi kematian.
 
Toxoplasmosis
Banyak spesies terserang parasit ini antara lain: carnivora, insectivora, rodentia, babi, herbivora, primata dan mamalia lainnya. Toxoplasma merupakan parasit intra seluler pada bermacam-macam jaringan tubuh termasuk otot dan epithel intestinum. Pada infeksi berat parasit dapat ditemukan dalam darah dan eksudat peritoneal. Daur hidupnya termasuk dalam epithel intestinum (enteroepithelial) dan fase “extraintestinal” terdapat dalam kucing rumah dan hewan piaraan lainnya. Reproduksi sexual dari toxoplasma terjadi pada waktu hidup dalam tubuh kucing, dan reproduksi asexual terjadi pada hospes lainnya.
Fase extra intestinal: dimulai pada waktu kucing atau hospes lainnya memakan oocyst yang bersporulasi atau termakan tachyzoid atau bradyzoites yang merupakan fase infektif. Oocyst dengan ukuran 10-13 um X 9-11 um pada dasarnya mirip dengan oocyst jenis isospora lainnya. Sporozoits keluar dari sporocyst, sebagian masuk kedalam sel epithel dan tinggal di lokasi tersebut, lainnya masuk kedalam mukosa dan berkembang di lamina propria, kelenjar lymfe mesenterica, organ lainnya dan dalam sel darah putih. Pada hospes lain seperti kucing tidak ada perkembangan di daerah enteroepithelial, tetapi sporocyst masuk dalam sel hospes dan memperbanyak diri dengan “endodyogeny”. Sel yang membelah diri secara cepat dan menyebabkan infeksi akut disebut “tachyzoits”. Sekitar 8-16 tachyzoit mengumpul dalam sel vacuola parasitophorus sebelum sel mengalami disintegrasi, bila parasit membebaskan diri dari sel tersebut merka akan menginfeksi sel lain. Tachyzoit tidak tahan terhadap sekresi asam lambung, tetapi tachyzoit bukanlah sumber infeksi yang penting dibanding fase lainnya.
Imunitas terhadap toxoplasma ada dua yaitu: imunitas “humoral” dan “cell mediated”. Dinding cyste dan bradyzoites sangat resisten terhadap pepsin dan trypsin dan bila tertelan parasit tersebut dapat menginfeksi hospes baru.
Fase enteroepithelial: Dimulai pada waktu kucing memakan zoitocyst yang berisi bradyzoits, oocyst yang berisi sporozoit atau tachyzoit. Kemungkinan lain adalah adanya migrasi zoit dari extraintestinal kedalam intestinal dalam tubuh kucing. Begitu parasit masuk sel epithel usus halus atau colon, parasit berubah menjadi trophozoit dan siap tumbuh untuk mengalami proses schizogony. Telah diteliti ada 5 strain toxoplasma yang dipelajari pada fase ini, dari yang memproduksi 2 sampai 40 merozoit dari scizogony, polygony, atau endodyogeni, dimana prosesnya asexual. Gametogony tumbuh di dalam usus terutama usus halus, tetapi sering terjadi dalam ileum. Sekitar 2-4% gametocyst adalah jantan yang masing-masing dapat memproduksi 12 microgamet. Oocyst yang ditemukan dalam feses kucing terjadi setelah 3-5 hari post infeksi dari cyste, dengan jumlah tertinggi pada hari ke 5-8. Oocyst memerlukan oksigen untuk sporulasi, sporulasi terjadi pada hari ke 1-5.
Patologi: Tipe enteroepithelial hanya hidup selama beberapa hari, terutama pada ujung vili. Tetapi fase extraepithelial, terutama yang berlokasi di retina atau otak, cenderung menyebabkan infeksi yang serius.
Infeksi pada umur dewasa biasanya tidak menunjukkan gejala (asymptomatik). Tetapi bila terjadi penurunan daya tahan oleh karena obat (obat imunosupresif seperti corticosteroid) gejala akan menjadi tampak. Infeksi yang memperlihatkan gejala (symptomatik infection) di kelompokkan dalam 3 kategori yaitu: infeksi akut, sub akut dan kronis.


Coccidiasis
Etiologi: Berak darah atau sering disebut dengan koksidiosis disebabkan oleh protozoa dari genus Eimeria.
Ada 9 tipe dari eimeria yang sering menyerang unggas tapi yang pathogen hanya ada 2, yaitu:
· Eimeria tenella
· Eimeria necatrix
Faktor predisposisi:
Koksidiosis juga menyebabkan immunosupresif
Kasus Mareks, pemakaian anti koksidia, menyebabkan interferensi terhadap imunitas koksidia.
Kasus IBD (infectius bursal disease) dapat memperparah kejadian koksidiosis.
stress yang disebabkan ketika vaksinasi, potong paruh, panas, perubahan pakan.
Patogenesis: Siklus hidup dari eimeria secara langsung yaitu tanpa melalui hewan lain untuk menularkan penyakit ini. Ookista yang bersporulasi merupakan stadium infektif dari siklus hidup penyakit koksidia. Ookista dapat juga ditularkan secara mekanik melalui pekerja kandang, peralatan yang tercemar atau dalam beberapa kasus yang pernah terjadi dapat disebarkan melalui debu kandang dan litter dalam jangkauan pendek. Berat tidaknya penyakit ini tergantung dari jumlah protozoa yang termakan. Berdasarkan tingkat keparahannya penyakit koksidiosis atau berak darah dibagi menjadi 2 yaitu:
Koksidiosis klinis (Eimeria tenella dan Eimeria necatrix). Koksidiosis subklinis (Eimeria maxima dan Eimeria acervulina).
Gejala umum:
  • Ayam lesu lemah
  • Tidak mau makan
  • Pertumbuhan terhambat
  • Bulu kusam dan berdiri
  • Ayam yang terinfeksi koksidiosis senang bergerombol di sudut-sudut kandang
  • Diare mukoid sampai berdarah.
  • Kematian.
Diagnosis: Diagnosis untuk penyakit koksidiosis berdasarkan gejala klinis yang ditimbulkan. Dengan pemeriksaan feces akan ditemukan stadium oosista. Perubahan postmortum (lokasi lesi, tergantung spesiesnya). Pemeriksaan kerokan mukosa usus yang mengalami lesi (skizon: usus tengah patognomonik untuk Eimeria necatrix sedang pada sekum: (Eimeria tenella). Pembuatan preparat histologi untuk menemukan berbagai stadium Eimeria.
Pencegahan: Kontrol ditujukan untuk pencegahan terhadap koksidiosis dengan koksidiostat dalam pakan karena pengobatan setelah gejala klinis muncul akan terlambat.
Perbaikan menejemen kandang pemberian vaksin coccidia (baik melalui pakan maupun air minum) adalah yang perlu diperhatikan bagi pemilik unggas. Antikoksidia tidak boleh diberikan untuk ayam petelur serta penggunaan dosis harus tepat, dosis yang terlalu tinggi dari dosis yang direkomendasikan dapat menimbulkan efek seperti menghambat pertumbuhan, toksisitas pada layer, berinteraksi dengan mineral dan immunosupresif. Dosis yang tidak tepat juga menyebabkan resistensi koksi terhadap obat-obat tertentu juga penggunaan antikoksidia perlu dirotasi.

Giardiasis pada Anjing
Etiologi: Giardia lamblia (protozoa berflagel yang memiliki stadium baik tropis maupun cystic).
Patogenesis: Infeksi Giardia lamblia dimulai dengan masuknya kista melalui saluran pencernaan, masuk ke dalam usus. Proses selanjutnya adalah pelepasan trophozoit, yang diinisiasi di dalam perut oleh asam lambung. Lingkungan perut yang asam (pH ≤ 2) dan pH duodenum yang mendekati netral sangat penting untuk proses pelepasan trophozoit ini.
Trophozoit kemudian membelah dan bermigrasi ke dalam permukaan mikrovilus. Kolonisasi trophozoit terbatas pada distal duodenum dan proksimal jejenum. Ketika trophozoit bercampur dengan isi usus dan arus feses serta perubahan lingkungan, akan menyebabkan trophozoit mengkista. Kista keluar melalui feses setelah periode prepaten 6-14 hari (pada anjing). Siklus berulang setelah kista masuk hospes yang tepat. Giardiasis ditularkan melalui pakan dan minum yang terkontaminasi kista.
Gejala Klinis
Asimptomatis dan dapat sembuh dengan sendirinya
Gejala yang paling menonjol adalah diare
Berak menjadi lembut, berwarna pucat
Anak anjing atau kucing mengalami hambatan pertumbuhan karena gangguan absorpsi nutrisi
Diagnosa
Diagnosa Giardiasis dengan mendeteksi trophozoit dengan pemeriksaan mikroskopis terhadap preparat semar feses.
Flotasi sentrifugal dengan zinc sulfat dapat membantu mendeteksi kista pada sampel feses.
Larutan iodin yang diteteskan pada slide dapat membantu menampakkan organel spesifik kista giardial.

Radang Usus (Colitis)
Colitis adalah penyakit radang pada kolon (Usus besar)
Sinonim:
IBD (Inflamatori Bowel Disease)
SBS (Spastic Bowel Syndrome)
IBS (Inflamatori Bowel Syndrome)
Lymphositic Plasmacytic Inflamatori Bowel Disease
Colitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Lymphocytic-plasmacytic colitis, biasa dijumpai pada anjing. Penyebab pastinya belum jelas, mungkin disebabkan karena reaksi yang berlebihan dari sistem imun.
Histiocytic ulceratif colitis, dicirikan dengan adanya ulcer dan radang pada colon. Dijumpai pada anjing Boxer muda.
Granulomatous colitis, tidak diketahui secara pasti. Granulomatous merupakan tipe sel radang yang ditemukan pada radang Colon ini.
Eosinophilic colitis, dicirikan dengan adanya eosinophil pada radang, yaitu tipe sel darah putih yang dijumpai karena adanya reaksi alergi makanan atau karena infeksi parasit.
Etiologi:
Traumatik : dari faktor internal, karena benda asing dan materi atau benda yang bersifat abrasif. Ada sebagian anjing yang secara tidak sengaja makan rumput dan jerami. Serat yang tidak dapat dicerna dari makanan ini dapat mengiritasi usus besar. Faktor eksternal misalnya karena trauma benda tumpul, misalnya karena tertabrak mobil.
Uremia
Alergi, karena diet protein dan mungkin karena protein pada bakteri.
Karena penyebab radang atau reaksi imun. Seperti Lymphoplasmacytic, eosinophilic, granulomatous, dan histiocytic.
Umur dan jenis kelamin tidak menentukan atau tidak berhubungan dengan Colitis, kecuali Histiocytic ulcerative cilitis yang lebih sering menyerang anjing Boxer muda.
Karena infeksi :
  1. Bakteri : Clostridia, Salmonela, E.coli, Campylobacter, dan yang lain.
  2. Virus : Corona virus, dan pari virus.
  3. Agen Jamur : Agen penyebab Histoplasmosis, pythiosis, dan protothecosis.
  4. Parasit cacing : cacing cambuk dan cacing kait.
  5. Parasit protozoa : Trichomonas, Amoeba, Balantidium, dan Giardia.
Diet intoleran atau reaksi alergi. Dalam kasus ini, Colitis sering terjadi reaksi pada spesifik protein, tapi juga dapat dihubungkan dengan laktosa, lemak yang tinggi dan makanan tambahan tertentu.
Diet yang tidak baik, misalnya makanan yang sudah basi, makan yang berlebihan, makan benda asing yang tercampur dalam makanan, serta perubahan diet yang mendadak.
Pancreatitis (radang pada prancreas), menyebabkan adanya darah dan mukus pada feses.
Gangguan pembekuan darah, karena gangguan fungsi hati, beberapa racun tikus, dan rendahnya total platelet (Thrombocytipenia) dapat menyebabkan adanya darah dalam feses.
Gejala Klinis
  • Sejarah penyakit
  • Perubahan konsistensi feses dari normal menjadi agak cair
  • Tingginya defekasi dengan volume yang sedikit
  • Fomitus dijumpai pada 30% anjing
  • Diare kronis sering dengan mukus atau jarang
  • Anjing dengan istiocytic ulseratif colitis sering menunjukkan pengurangan berat badan dan anoreksia
  • Penurunan berat badan
  • Penurunan nafsu makan
Diagnosa
Tes diagnosa dilakukan untuk mengidentifikasi colitis dan membedakan dengan penyakit lain. Pemeriksaan secara lengkap dari sejarah individu, dengan menggunakan pengujian rektal dan abdominal palpasi adalah langkah pertama untuk melakukan diagnosa yang akurat. Pemeriksaan feses terhadap anjing yang diduga menderita colitis, dilakukan untuk mengevaluasi telur dari adanya predileksi dari cacing dan membedakan dengan protozoa. Parasit adalah salah satu penyebab colitis paling sering dalam kasus colitis pada anjing.
Pemeriksaan darah juga perlu dilakukan untuk mendukung adanya infeksi atau radang dengan mengidentifikasi sel darah putih, untuk mengetahui adanya anemia karena kehilangan darah secara kronis yang terbawa dalam feses yang sering terjadi pada kasus colitis.
Diagnosa dapat juga dilakukan dengan pengujian serum secara biokimia, Test urinasi dapat dilakukan untuk mengetahui fungsi ginjal. Pemeriksaan abdomen dengan menggunakan sinar-X juga dapat membantu untuk mengetahui adanya abnormalitas organ limpa nodus dan kelenjar prostat yang mungkin dapat menekan colon yang kemungkinan dapat menyebabkan gejala colitis. Pemeriksaan dengan sinar-X direkomendasikan terhadap anjing tua yang diduga menderita kanker, sehingga perlu dilakukan evaluasi apakah terjadi metastasis.
Uji terhadap serum trypsin like immunoreactivity diperlukan untuk membantu diagnosa terhadap anjing yang menderita colitis kronis. Uji ini akan membantu identifikasi adanya kerusakan pada pancreas.

Histomoniasis
Hospesnya adalah hewan unggas seperti kalkun dan ayam, lokasi infeksinya pada sekum dan hati. Spesiesnya yaitu Histomonas melagridis.
Gejala Klinis
Penyakit ini terjadi/ menyerang kalkun muda, tetapi kalkun dan ayam lebih tua juga terinfeksi. Gejala klinis pertama terjadi 1-3 minggu setelah ingesti, lemah lesu, sayap terkulai dan bulunya kusam. Karakteristik khusus adalah penampilan feses kuning belerang. Unggas menjadi semakin lemah dan kematian terjadi seminggu setelah gejala pertama (Hall, 1987).
Diagnosis
Penampakan/kemunculan feses yang berwarna kuning belerang dan karakteristik sekum dan lesi hati adalah diagnosa umum. Penegasan didapatkan dari adanya protozoa Histomonas pada lesi hati, dimana mereka terlihat pada perifer lesi, atau hasil kikisan dari jaringan sekum, atau dari feses didalamnya.

Nekropsi: sekum dan hati terlihat lesi. Ada perbesaran sekum dengan penebalan dan inflamasi hebat pada dinding sekum, mukosa mengelupas dan digantikan oleh area nekrosis. Hati membengkak dan menunjukkan area nekrosis berukuran 0,5-2 cm, berwarna coklat tua, sering dengan perimeter kekuningan, permukaan area nekrosis hampir menekan hati ke bawah (Hall, 1987).

Avian Trichomoniasis
Hospesnya adalah unggas dimana lokasi infeksinya pada saluran pencernaan (sekum dan kolon T. galinarum dan T. eberthi). Spesies yang menyerang adalah Trichomonas gallinae, Trichomonas galinarum dan Trichomonas eberthi.
Gejala Klinis
Unggas yang terinfeksi menunjukkan jengger kehitaman, kehilangan berat badaan, depresi, keluar liur dari mulut dan keluar bau busuk. Gejala yang disebabkan oleh T. galinarum dan T. eberthi biasanya melibatkan protozoa lainnya (Hall, 1987).
Diagnosis
Diagnosis ditegaskan oleh tes laboratorium. Necropsi: infeksi T. gallinae menyebabkan ulcer dalam tembolok, meluas ke esofagus dan proventrikulus. Ulcer menembus ke dalam organ tubuh sedalam 3-4 mm. T. galinarum menyebabkan lesi di hati yang mirip lesi yang ditemukan pada infeksi histomoniasis (Hall, 1987).



DAFTAR PUSTAKA


Beaver, P.C.; Jung, R.C; Cupp, E.W.; Clinical Parasitology, Lea & Febiger, Philadelphia, 5th edition, 1984, 35-220

Hall, H.T.B., 1987. Diseases and Parasites of Livestock in the Tropics 2nd Edition. England

Soulsby E.J.L. 1982. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. The ELBS & Bailliere Tindall. London

Urquhart G.M.,; Armour J.,; Duncan J.L.,; Dunn A.M.,; and Jennings F.W. 1987. Veterinary Parasitology, ELBS, England.

www.vetklinik.com

INFEKSI CACING

LEARNING OBJECTIVE
  1. PENYAKIT & PRINSIP INFEKSI CACING PADA HEWAN
  2. RESPON RAGAWI HEWAN TERHADAP PENYAKIT CACINGAN
  3. DIAGNOSA TERHADAP PENYAKIT CACINGAN

Penyakit & Prinsip Infeksi Cacing Pada Hewan
Infeksi C. Tambang (Ankilostomiasis)
Penyakit cacing tambang banyak ditemukan pada daerah dengan tingkat kelembapan tinggi. Biasanya, pada anjing ditemukan cacing Ancylostoma caninum yang terdapat di dalam mukosa usus halus. Cacing ankilostoma dewasa biasanya ditemukan pada mukosa usus halus anjing, telurnya tipe strongyloid, yaitu berdinding tipis, oval, dan bila dibebaskan keluar tubuh memiliki 2 – 8 gelembung blastomer.
Daur hidup cacing tambang bersifat langsung, tanpa hospes antara. Cacaing dewasa hidup dari menghisap darah di usus halus, selalu berpindah-pindah dalam menusuk mukosa usus, hingga menimbulkan luka perdarahan dalam waktu yang cukup lama kaena cacing tersebut menghasilkan toksin anti koagulasi darah. 1 – 2 hari setelah di bebaskan dalam tinja, tempat yang lembap atau basah, telur akan menetas dan terbebaslah stadium pertama, selama kurang lebih satu minggu akan terbentuk larva infektif.
Proses infeksi cacing ini dapat melalui kulit, secara oral, trans-mammaria & intra- uterus serta melalui hospes paratenik (Subronto., 2006).

Infeksi C. Gelang (Askariasis)
Cacing T. canis, T. leonine, dan T. cati terdapat hampir di seluruh dunia. Spesies ini sangat sulit dihapuskan dari suatu daerah yang tertular, dikarenakan kulit telur kedua (lapis-luarnya) tebal. Telurnya dapat bertahan selama bertahun-tahun di tempat tinja anjing, serigala, maupun kucing yang terinfeksi.
Daur hidupnya adalah infeksi langsung dimana telur infektif mengandung larva stadium 2 dapat menginfeksi anak anjing dan kucing umur 4 minggu secara langsung di dalam usus dan menetaskan larva stadium 2 yang selanjutnya bermigrasi ke hati dalam waktu 2 hari lalu berkembang menjadi larva stadium 3 dan bermigrasi ke paru-paru selama 3 – 6 hari selanjutnya menginfeksi alveoli, bronchioli, dan bronchi.
Infeksi lainnya dapat berupa intra-uterus, trans-mammaria, induk pasca-kelahiran dan melalui hospes paratenik. Perjalanan larva infektif ini melalui jaringan paru-paru dan hati dapat menyebabkan edema pada organ tersebut. Infeksi cacing yang berat dapat mengakibatkan gangguan usus, yang ditandai dengan sakit perut (kolik),obstruksi usus, dan dalam keadaan kestrem dapat terjadi perforasi usus hingga tampak gejala peritonitis, juga adnaya cacing yang banyak mengakibatkan penurunan bahan makana yang diserap, hingga terjadi hipoalbuminea, yang berakibat kekurusan dan asites (Subronto., 2006).

Infeksi Cacing Pipih (Dypilidium caninum)
Cacing ini tinggal di dalam usus halus anjing, kucing, serigala, dan manusia. Untuk memeperoleh makanannya cacing ini dilengkapi dengan 4 pengisap pada sksoleksnyaserta kait-kait yang dapat ditarik ke dalam.
Daur hidupnya adalah segmen cacing yang mengadung telur keluar tubuh bersama tinja anjing dan kucing secara spontan. Segmen ini bergerak secara aktif di anus, tanah, dan tempat tidur penderita dan memebebaskan serta menyebarkan telur cacing. Kapsul cacing yang berisi embrio akan dimakan oleh pinjal yang nanti akan berkembang jadi sistiserkoid infektif kemudian akan dimakan oleh anjing atau kucing secara tidak sengaja (Subronto., 2006).

Dicrocoelium dendriticum (Trematoda)
Dicrocoelium dendriticum hospesnya seperti domba, sapi, rusa, dan kelinci, lokasi infeksinya saluran empedu dan vesica vellea. Meskipun ribuan Dicrocoelium dendriticum umumnya ditemukan di saluran empedu, hati cenderung normal. Hal ini agaknya dikarenakan adanya fase migrasi. Bagaimanapun juga, infeksi yang lebih berat ditemukan adanya jaringan fibrin pada saluran empedu yang lebih kecil dan perluasan sirosis akan terjadi, kadang-kadag saluran empedu nampak menjadi menggembung (Urquhart; et.all. 1996).
 
Paramphistomum cervi dan Paramphistomum microbothrium (Cestoda)
Paramphistomum cervi dan Paramphistomum microbothrium hospes adalah ruminan, lokasi infeksi dewasanya pada rumen dan retikulum sedangkan stadium intermediet pada duodenum. Cacing muda menyumbat penyalur makanan dan menghasilkan pengikisan mukosa duodenum. Pada infeksi berat mengakibatkan enteritis, hemoraghi dan ulcer. Ketika dilakukan nekropsi cacing muda dapat dilihat seperti kelompok parasit berwarna pink kecoklatan menempel pada mukosa duodenum dan kadang-kadang juga pada jejunum dan abomasum. Ribuan cacing dewasa juga ditemukan dan bertahan hidup (memperoleh makanan) pada dinding rumen atau retikulum (Urquhart; et.all. 1996).

Taenia saginata (Cestoda)
Stadium intermediet dari cacing pita ini ditemukan di otot sapi, seringkali menimbulkan masalah ekonomi pada industri daging sapi dan menimbulkan bahaya kesehatan umum (Urquhart; et.all. 1996).

Cooperia (Nematoda)
Hospesnya pada hewan-hewan ruminan, infeksinya pada usus halus.
Patogenesis Cooperia oncophara dan Cooperia curticei umumnya merupakan parasit patogen ringan. Cooperia punctata, Cooperia pectinata dan mungkin Cooperia surnabada lebih patogenik sejak mereka penetrasi ke dalam permukaan epitel usus halus dan menyebabkan gangguan yang dikenal sebagai trichostrongylosis usus yang mana memiliki peranan penting dalam atrophy vili dan penurunan area yang tersedia untuk penyerapan. Pada infeksi berat diare sering ditemukan (Urquhart; et.all. 1996).

Strongyloides (Nematoda)
Hospesnya sebagian besar hewan, lokasi infeksinya usus halus dan juga pada sekum. Strongyloides westeri kuda dan keledai. Strongyloides papilorus ruminan. Strongyloides ransomi babi. Strongyloides stercoralis anjing dan kucing. Strongyloides avium ayam/unggas.
Penetrasi di kulit oleh larva infektif menyebabkan reaksi erythematus yang mana pada domba diikuti masuknya organisme asing yang menyebabkan pembusukan kaki/kuku. Jalur jalannya larva di paru-paru dapat terlihat ketika dilakukan pembedahan/nekropsi. Parasit dewasa ditemukan dalam duodenum dan jejunum bagian proximal dan jika ditemukan dalam jumlah banyak mungkin menyebabkan peradangan dengan oedema dan pengikisan epitel (Urquhart; et.all. 1996).


Respon Ragawi Hewan Terhadap Penyakit Cacingan
Bila jumlah agen asing yang masuk ke dalam tubuh hospes kecil. Maka agen tersebut akan dikelilingi sel-sel fagosit dan secara bertahap akan tergencet tidak bergerak oleh adanya deposisi jaringan kolagen di sekitarnya. Bila jumlahnya besar, reaksi hospes lebih besar dengan timbulnya radang. Kondisi ini ditandai dengan timbulnya udim sebagai akibat dilatasi kapiler lokal (vaso-dilatasi) karena meningkatnya suplai darah ke daerah yang terinvasi agen asing.
Mengalirnya leukosit ke daerah terinvasi biasanya diikuti dengan migrasi limfosit yang beberapa darinya akan mentransformasikan menjadi sel-sel mononuklear atau fibroblas. Fibroblas mempunyai peranan penting dalam pembentukan kapsul-apsul fibrosa yang mengelilingi banyak parasit jaringan terutama larva cacing (Trichinella spiralis). Bila kapsul berada dalam waktu lama bisa terjadi kalsifikasi atau pengapuran (Sumartono, 2001).

Pertumbuhan- pertumbuhan abnormal jaringan dengan adanya parasit adalah:
  1. Hiperplasia,, adanya peningkatan pembelahan sel. Pada kondisi ini jumlah sel meningkat tetapi ukurannya tetap. Pertumbuhan ini sering akibat iritasi seperti pada hati kelinci yang terinfeksi oleh E. Stidae. Harus dibedakan antara hiperplasi dan hipertrofi. Kalau hipertrofi yang meningkat ukuran sel bukan jumlahnya.
  2. Metaplasia,, adalah transformasi satu jenis jaringan ke jaringan yang lain. Abnormal ini tidak umum berkaitan dengan adanya parasit, walaupun dapat terjadi pada infestasi cacing paru Paragonimus westermani.
  3. Neoplasia,, merupakan suatu pertumbuhan sel jaringan baru dari sel-sel yang ada dan dari pertumbuhan semacam itu secara umum disebut sebagai tumor. Suatu neoplasma atau tumor dapat didefinisikan sebagai suatu pertumbuhan baru yang muncul dari jaringan yang ada sebelumnya, tidak tergantung dari kebutuhan organisme dan kemunculannya tidak memiliki tujuan yang berguna, tetapi sebaliknya malah sering merugikan. Cacing parasit adalah salah satu diantara banyak agen penyebab tumor. Misalnya Gangylonema neoplasticum berkaitan dengan pembentukan tumor pada lidah, Paragonimus westermani dan Clonarchis sinesis berkaitan dengan tumor paru-paru pada harimau dan manusia. Namun demikian hanya larva Hydatigera taeniaeformi, Cysticercus fasciolaris (parasit hati rodensia), Spirocerca lupi dewasa parasit esofagus anjing yang benar-benar dituduh berkaitan dengan terbentuknya sarkoma di organ predileksinya. (Sumartono, 2001)
Infeksi C. Tambang (Ankilostomiasis)
Gejala-gejala akibat infeksi cacing Ankilostomiasis seperti hilangnya darah dalam waktu pendek, tinja lunak, berwarna gelap serta anemia dapat dilihat dari pucatnya selaput lendir mulut, mata, vagina, maupun kulit, terutama daerah perut. Radang yang ditimbulkan menyempitkan muara saluran empedu yang menyebabkan ikterus (Subronto., 2006).

Infeksi C. Gelang (Askariasis)
Penderita cacingan memperlihatkan gejala kelemahan umum, yang juga disebabkan anemia. Ekspresi muka sayu, mata berair, dan mukosa mata maupun mulutnya tampak pucat, perut menggantung, malas berjalan mauun bergerak, tidak jarang gejala konvulsi ditemukan. Migrasi larva juga mengakibatkan batuk, dispnoea, dan radang paru ringan. Gejala anoreksi juga sangat mencolok.
Dalam pemeriksaan pasca mati jaringan tampak anemis dan hidremis, hati tampak pucat, memebesard dengan beberapa bagian mengalami perdarahan titik atau ecchymosed. Paru-paru tampak pucat, jantung membesar, pucat, dan mungkin terjadi hidroperikard. Saluran pencernaan pucat dengan beberapa terjadi perdarahan, cacing dewasa ditemukan dalam lumen usus, mukosa usus mengalami eosinofilik bersifat local. Perubahan patologi klinik ditemukan lekositosis, hipoalbuminea, kadar β-globulin meningkat (Subronto., 2006).
 
Dicrocoelium dendriticum (Trematoda)
Gejala Klinis seperti anemia, oedema, dan emasiasi yang sering terjadi pada beberapa kasus (Urquhart; et.all. 1996).

Paramphistomum cervi dan Paramphistomum microbothrium (Cestoda)
Gejala klinis yang paling sering adalah diare disertai anorexia dan dehidrasi. Kadang-kadang pada sapi, disertai hemoraghi di rektum. Kematian pada perjangkitan akut dapat mencapai 90% (Urquhart; et.all. 1996).

Taenia saginata (Cestoda)
Patogenesis dan gejala klinisnya dijelaskan bahwa meskipun dibawah kondisi alamiah keberadaan cysticerci dalam otot sapi tidak ada hubungannya dengan gejala klinis, perkembangan telir T. saginata menyebabkan myocarditis dan gagal jantung. Pada manusia, cacing pita dewasa mungkin menyebabkan diare dan nyeri perut (Urquhart; et.all. 1996).


Cooperia (Nematoda)
Gejala klinis yaitu adanya penurunan selera makan, penurunan berat badan dan dengan adanya Cooperia punctata dan Cooperia pectinata, diare, penurunan berat badan yang drastis dan oedema pada submandibula (Urquhart; et.all. 1996).

Strongyloides (Nematoda)
Gejala klinis umum yang sering terlihat hanya pada hewan sangat muda adalah diare, anorexia, kusam, penurunan berat badan (Urquhart; et.all. 1996).

 
Diagnosa Terhadap Penyakit Cacingan
Infeksi C. Tambang (Ankilostomiasis)
Diagnosa dari infeksi cacing Ankilostomiasis yaitu dengan memeriksa tinja, gejala diare berdarah, penurunan aktifitas system imunitas, hingga anjing mudah menderita parvovirus, hepatitis, dan distemper (Subronto., 2006).

Infeksi C. Gelang (Askariasis)
Riwayat kennel maupun cattery tempat penderita tumbuh dapat digunakan sebagai pegangan dalam penentuan diagnosis antara lain berupa batuk, pilek, anoreksia, diare, perut membesar, menggantung, dan konvulsi. Diagnosis pasca mati, seperti perdarahan sub mukosa akibat larva ditemukan pada paru-paru dan hati. Untuk hewan dewasa diagnosis cacingan oleh ketiga jenis ini dapat ditemuka didalam spesimen (Subronto., 2006).

Infeksi Cacing Pipih (Dypilidium caninum)
Rasa gatal di daerah anus, menggosok-gosokkan bagian gatal tersebut serta berjalan dengan tubuh tegak, adanya segmen cacing di tempat tidur, proglotid berupa trapezoidal berbeda dari segmen taenia yang berbentuk segiempat.

Dicrocoelium dendriticum (Trematoda)
Diagnosis sepenuhnya didasarkan pada pemeriksaan telur dalam feses dan penemuan saat nekropsi (Urquhart; et.all. 1996).

Paramphistomum cervi dan Paramphistomum microbothrium (Tremaoda)
Diagnosis didasarkan pada gejala klinis yang kadang-kadang menyangkut hewan muda di peternakan dan sejarah rumput disekitar habitat keong selama periode musim panas. Pemeriksaan feses sedikit penting sejak penyakit terjadi selama periode prepatent. Penegasan dapat diperoleh dari pemeriksaan posmortem dan penemuan kembali cacing kecil dari duodenum (Urquhart; et.all. 1996).

Taenia saginata (Cestoda)
Diagnosisnya disebutkan bahwa dari tiap negara memiliki penanggulangan yang berbeda-beda. Biasanya dilakukan pemeriksaan muskulus maseter, lidah, jantung, muskulus intercostalis dan muskulus triceps (Urquhart; et.all. 1996).

Cooperia (Nematoda)
Diagnosis
Gejala klinis yang ditimbulkan, turunnya berat badan dan diare
Sejarah rumput
jumlah telur dalam feses. Penyakit tipe I sering ada lebih dari 1000 telur per gram dan berguna untuk diagnosis awal, tipe I jumlahnya berubah-ubah, kadang tinggi, negatif dan jumlahnya terbatas.
Pemeriksaan post-mortem. Abomasum berbau busuk dikarenakan adanya akumulasi bakteri dan tingginya pH. Cacing dewasa berwarna kemerahan dan panjangnya 1 cm, dapat dilihat dengan pemeriksaan yang teliti pada permukaan mukosa (Urquhart; et.all. 1996).

Strongyloides (Nematoda)
Diagnosisnya, sedikit atau banyaknya telur yang dapat dalam feses belum tentu hewan tersebut terjangkit cacing Strongyloides (Urquhart; et.all. 1996).
 

DAFTAR PUSTAKA

Subronto., 2006. Penyakit Infeksi Parasit & Mikroba Pada Anjing & Kucing. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Sumartono. 2001. Parasitologi Umum. Yogyakarta: Bagian Parasitologi FKH UGM.

Urquhart G.M., Armour J., Duncan J.L., Dunn A.m., and Jennings F.W. 1996. Veterinary Parasitology 2nd Edition. ELBS, England.