Senin, 31 Januari 2011

RESPON IMUN

LEARNING OBJECTIVE
  1. RESPON IMUN TERHADAP INFEKSI VIRUS
  2. VAKSIN

1. Respon Imun Terhadap Infeksi Virus
Resistensi dan pemulihan pada infeksi virus bergantung pada interaksi antara virus dan inangnya. Pertahanan inang bekerja langsung pada virus atau secara tidak langsung pada replikasi virus untuk merusak atau membunuh sel yang terinfeksi. Fungsi pertahanan non-spesifik inang pada awal infeksi untuk menghancurkan virus adalah mencegah atau mengendalikan infeksi, kemudian adanya fungsi pertahanan spesifik dari inang termasuk pada infeksi virus bervariasi bergantung pada virulensi virus, dosis infeksi, dan jalur masuknya infeksi.
Sistem imun pada unggas bekerja secara umum seperti sistem imun pada mamalia. Stimulasi antigenik menginduksi respons imun yang dilakukan sistem seluler secara bersama-sama diperankan oleh makrofag, limfosit B, dan limfosit T. Makrofag memproses antigen dan menyerahkannya kepada limfosit. Limfosit B, yang berperan sebagai mediator imunitas humoral, yang mengalami transformasi menjadi sel plasma dan memproduksi antibodi. Limfosit T mengambil peran pada imunitas seluler dan mengalami diferensiasi fungsi yang berbeda sebagai sub-populasi.

Antigen eksogen masuk ke dalam tubuh melalui endosistosis atau fagositosis. Antigen-presenting cell (APC) yaitu makrofag, sel denrit, dan limfosit B merombak antigen eksogen menjadi fragmen peptida melalui jalan endositosis. Limfosit T mengeluarkan subsetnya, yaitu CD4, untuk mengenal antigen bekerja sama dengan Mayor Hystocompatablity Complex (MHC) kelas II dan dikatakan sebagai MHC kelas II restriksi. Antigen endogen dihasilkan oleh tubuh inang. Sebagai contoh adalah protein yang disintesis virus dan protein yang disintesis oleh sel kanker. Antigen endogen dirombak menjadi fraksi peptida yang selanjutnya berikatan dengan MHC kelas I pada retikulum endoplasma. Limfosit T mengeluarkan subsetnya, yaitu CD8, mengenali antigen endogen untuk berikatan dengan MHC kelas I, dan ini dikatakan sebagai MHC kelas I restriksi (Tizard., 1982).
Limfosit adalah sel yang ada di dalam tubuh hewan yang mampu mengenal dan menghancurkan bebagai determinan antigenik yang memiliki dua sifat pada respons imun khusus, yaitu spesifitas dan memori. Limfosit memiliki beberapa subset yang memiliki perbedaan fungsi dan jenis protein yang diproduksi, namun morfologinya sulit dibedakan. Limfosit berperan dalam respons imun spesifik karena setiap individu limfosit dewasa memiliki sisi ikatan khusus sebagai varian dari prototipe reseptor antigen. Reseptor antigen pada limfosit B adalah bagian membran yang berikatan dengan antibodi yang disekresikan setelah limfosit B yang mengalami diferensiasi menjadi sel fungsional, yaitu sel plasma yang disebut juga sebagai membran imunoglobulin. Reseptor antigen pada limfosit T bekerja mendeteksi bagian protein asing atau patogen asing yang masuk sel inang.
Sel limfosit B berasal dari sumsum tulang belakang dan mengalami pendewasaan pada jaringan ekivalen bursa. Jumlah sel limfosit B dalam keadaan normal berkisar antara 10 dan 15%. Setiap limfosit B memiliki 105 B cell receptor (BCR), dan setiap BCR memiliki dua tempat pengikatan yang identik. Antigen yang umum bagi sel B adalah protein yang memiliki struktur tiga dimensi. BCR dan antibodi mengikat antigen dalam bentuk aslinya. Hal ini membedakan antara sel B dan sel T, yang mengikat antigen yang sudah terproses dalam sel.
Jajaran ketiga sel limfoid adalah natural killer cells (sel NK) yang tidak memiliki reseptor antigen spesifik dan merupakan bagian dari sistem imun nonspesifik. Sel ini beredar dalam darah sebagai limfosit besar yang khusus memiliki granula spesifik yang memiliki kemampuan mengenal dan membunuh sel abnormal, seperti sel tumor dan sel yang terinfeksi oleh virus. Sel NK berperan penting dalam imunitas nonspesifik pada patogen intraseluler. Antibodi diproduksi oleh sistem imun spesifik primer pada pemulihan pada infeksi virus dan pertahanan pada serangan infeksi virus. Sel T lebih berperan pada pemulihan infeksi virus. Sitotoksik sel T (CTLs) atau CD8 berperan pada respons imun terhadap antigen virus pada sel yang diinfeksi dengan cara membunuh sel yang terinfeksi untuk mencegah penyebaran infeksi virus.
Sel T helper (CD4) adalah subset sel T yang berperan membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Limfokin disekresikan oleh sel T untuk mempengaruhi dan mengaktivasi makrofag dan sel NK sehingga meningkat secara nyata pada penyerangan virus. Patogen yang mampu dijangkau oleh antibodi adalah hanya antigen yang berada pada peredaran darah dan di luar sel, padahal beberapa bakteri patogen, parasit, dan virus perkembangan replikasinya berada di dalam sel sehingga tidak dapat dideteksi oleh antibodi. Penghancuran patogen ini membutuhkan peran limfosit T sebagai imunitas yang diperantarai oleh sel. Limfosit T mengenal sel yang terinfeksi virus, virus yang menginfeksi sel bereplikasi di dalam sel dengan memanfaatkan sistem biosintesis sel inang. Derivat antigen dari replikasi virus dikenal oleh limfosit T sitotoksik. Sel tersebut mampu mengontrol sel yang terinfeksi sebelum replikasi virus dilangsungkan secara lengkap. Sel T sitotoksik merupakan ekspresi dari molekul CD8 pada permukaannya.

Respon Imun Terhadap Viral
Interferon merupakan suatu klas glikoprotein dengan berat molekul yang bervariasi menurut cara yang dipakai untuk merangsang pembentukannya. α – IFN berasal dari leukosit yang tertulari virus, β – IFN berasal dari fibroblas yang tertulari virus dan γ – IFN suatu limfokin dari sel T yang terangsang antigen. Interferon beraksi pada sel yang tidak tertulari, dengan mendepres DNA nya sehingga sel tersebut menghasilkan protein yang dikenal sebagai protein penghambat translasi (PPT). PPT sebaliknya dapat menghambat pengambilalihan ribosom sel oleh asam ribonukleat (ARN) virus dan dengan demikian menghambat replikasi virus. (Tizard, I, 1982)

Penghancuran Virus Dan Sel Yang Tertulari Virus Oleh Antibody
Sebagai protein, kapsid virus adalah antigenik dan terhadap kapsid inilah dan terhadap amplop tanggap kebal antiviral sebagian besar ditunjukkan. Antibody dapat menghancurkan virus atau mencegah infeksi sel dengan berbagai cara. Pengikatan antibody dengan virus tidak perlu dengan sendirinya virisidal, karena pemisahan ikatan kompleks virus- antibody menyebabkan terlepasnya virus yang menulartetapi antibody dapat bertindak melindungi sel terhadap infeksi dengan jalan menghalangi absobrsi virus terselubungi antibody pada sel targetnya, merangsang fagositosis oleh makrofag, dengan memulai virolisis yang diperantai komplemen atau dengan menyebabkan penggumpalan virus, jadi mengurang jumlah satuan infeksi yang tersedia untuk invasi sel. (Tizard., 1982).

Innate Immunity & Adaptive Immunity
Mekanisme innate immunity menyediakan pertahanan awal infeksi/peradangan, beberapa mekanismenya untuk mencegah infeksi (seperti epitel barrier) dan lainnya untuk mengeliminasi mikroba (seperti fagosit, NK cell dan komplemen). Respon imun adaptive berkembang kemudian, dan ditengahi oleh limfosit dan produknya. Antibody memblok infeksi dan mengeliminasi mikroba, dan limfosit T membasmi mikroba intrasel, Gerakan respon imun innate dan adaptive diperkirakan dan mungkin bertukar-tukaran dengan infeksi yang berbeda. (Lichtman,. Abas., 2006).

Properties of adaptive immune respons
  • Feature: Functional significance
  • Specificity: Memastikan bahwa beda antigens menimbulkan tanggapan yang spesific
  • Diversity: Memungkinkan sistem kebal untuk bereaksi terhadap suatu variasi yang besar dari antigens
  • Memory: Memimpin untuk meningkatkan respon ekspose diulangi kepada yang sama antigens
  • Clonal expansion: Menambah jumlah antigen spesifik limfosit untuk menjaga jarak dengan mikroba
  • Specialization: Menghasilkan respon yang optimal untuk pertahanan terhadap tipe mikroba yang berbeda- beda
  • Contraction and homeostatis: Mengijinkan system imun untuk merespon antigen yang baru ditemui
  • Nonreactivity to self: Mencegah luka hospes selama respon terhadap antigen asing (Lichtman,. Abas, 2006).
Fase dari adaptive immune respons
Adaptive immune respons mengandung fase yang berbeda- beda, tiga yang pertama menjadi pengenalan antigen, aktivasi limfosit, dan eliminasi antigen (atau fase efektor). Respon menurun, antigen menstimulasi limfosit mati lewat proses apoptosis, pemugaran homeostasis, dan sel antigen spesifik bertahan sebagai respon menjadi sel memori. Durasi dari tiap fase mungkin bertukar-tukaran dengan immune respons yang berbeda. Proses ini terjadi pada kedua system imunitas, yaitu imunitas humoral (mediatornya adalah limfosit B) dan imunitas seluler (mediatornya adalah limfosit T). (Lichtman,. Abas, 2006)


2. Vaksin
Vaksinasi, atau imunisasi, adalah suntikan yang merangsang ketahanan tubuh kita terhadap infeksi tertentu. Misalnya, sebagian besar orang diimunisasi terhadap beberapa infeksi waktu bayi. Dibutuhkan beberapa minggu setelah disuntik sehingga sistem kekebalan tubuh bereaksi pada vaksin yang disuntikkan. Sebagian besar vaksin dipakai untuk mencegah infeksi. Tetapi, beberapa yang lain membantu tubuh kita untuk melawan infeksi yang sudah ada. Vaksin ini disebut ‘vaksin terapeutik.’ Ada beberapa vaksin terapeutik sedang diteliti dan diuji coba terhadap HIV (Anonim., 2009).
Vaksin ‘hidup’ memakai bentuk kuman yang dilemahkan. Vaksin jenis ini dapat menimbulkan penyakit yang ringan, kemudian sistem kekebalan mengambil alih untuk mencegah terhadap penyakit yang parah. Vaksin lain yang ‘dinonaktifkan’ (inactivated) tidak memakai kuman yang hidup. Dengan vaksin jenis ini, kita tidak mengalami penyakit, tetapi tubuh kita masih dapat membentuk keamanannya (Anonim., 2009).
Vaksin dapat menimbulkan efek samping. Dengan vaksin hidup, kita mungkin mengalami penyakit yang ringan. Dengan vaksin yang dinonaktifkan, kita mungkin meng- alami kesakitan, kemerahan, dan bengkak di tempat yang disuntik. Kita juga mungkin merasa lemas, kelelahan, atau mual selama waktu yang singkat (Anonim., 2009).



DAFTAR PUSTAKA


Anonim., 2009. Vaksinasi Dan HIV. Yayasan Spiritia. The AIDS InfoNet. Jakarta. http://www.aidsinfonet.org

Lichtman, Andrew, H. Abas, Abul, K. 2006. Basic Immunology. China: Saunders Elsevier

Tizard., I. 1982. Imunologi Veteriner. Philadelphia: W. B Saunders Company

PENYAKIT SISTEM GASTROINTESTINAL, SISTEM RESPIRATORIK, DAN SISTEM REPRODUKSI AKIBAT BAKTERI GRAM NEGATIF

LEARNING OBJECTIVE
1. PENYAKIT PADA SISTEM GASTROINTESTINAL, SISTEM RESPIRATORIK, DAN SISTEM REPRODUKSI YANG DISEBABKAN OLEH BAKTERI GRAM NEGATIF, MELIPUTI:
  • ETIOLOGI
  • PATOGENESIS
  • GEJALA KLINIS
  • DIAGNOSA
  • PENGENDALIAN & PENCEGAHAN


SISTEM GASTROINTESTINAL
1. Collicobasilosis
Etiologi; Kuman E. coli merupakan kuman yang selalu dapat diisolasi dari saluran pencernaan makanan. Kuman tersebut diduga sebagai penyebab utama penyakit diare. Kuman E. coli dibedakan dalam kuman yang bersifat enteropatogenik yang mengakibatkan terjadinya diare. Kuman E. coli paling banyak menyebabkan sakit pada pedet-pedet yang berumur 2-10 hari, dengan angka sakit pada kandang peternakan yang telah terinfeksi sebeser 30% (Subronto., 2003).
Patogenesis; Di dalam saluran pencernaan, kuman E. coli menghasilkan enterotoksin (endotoksin) yang dapat meningkatkan sekresi cairan dan elektrolit di dalam lumen usus. Untuk menutupi kekurangan cairan dan elektrolit, dari jaringan lain akan ditarik dan dimobilisasikan ke dalam usus. Akibat dari hal tersebut, jaringan diluar usus akan kekurangan cairan dan elektrolit hingga mengalami dehidrasi dan goncangan keseimbangan elektrolit. Asidosis yang ditimbulkan akan mengakibatkan kolap sistem peredaran darah yang mungkin segera diikuti dengan shock dan kematian (Subronto., 2003).
Gejala Klinis; Bentuk toksemia ditandai dengan kelemahan umum yang sangat, suhu tubuh sub-normal, pulsus lemah dan tidak disertai diare. Sedangkan bentuk klasik ditandai dengan diare profus, tinja berbentuk pasta atau sangat berair, warna tinja putih atau kuning, dengan bau yang sangat menusuk, dan dalam tinja kadang ditemukan darah yang segar (Subronto., 2003).
Patologi Anatomi; Jaringan umumnya kering, usus berwarna putih-kebiruan berisi gas di dalamnya, abomasum nampak pucat berisi gumpalan air susu yang berbau asam, perdarahan titik pada sub-mukosa maupun perdarahan di berbagai tempat dalam usus dan abomasum (Subronto., 2003).
Diagnosis; Hewan yang sakit perlu dieutanasi dan segera diperiksa juga hasil pemeriksaan patologi dari hewan yang sakit dapat digunakan untuk menerangkan penyebab hewan sakit serta faktor-faktor lain seperti pakan (Subronto., 2003).

2. Salmonelosis
Etiologi; Kuman-kuman Salmonela typhimurium dan S. dublin kadang-kadang S. heidelberg dan S. Saint pauli sering menyerang pedet maupun sapi dewasa (Subronto., 2003).
Patogenesis; Setelah berhasil memasuki tubuh, kuman akan memperbanyak diri dalam usus. Dalam waktu relatif singkat akan menyebabkan septisemia yang akan menyebabkan kematian. Apabila yang terjadi hanya bakteriemia hanya akan menyebabkan radang usus akut. Kuman kadang-kadang dibebaskan dari tubuh melalui tinja atau air susu (Subronto., 2003).
Gejala Klinis; Salmonelosis pedet bentuk septisemia akut ditandai dengan kelemahan umum secara mendadak, kenaikan suhu tubuh yang menyolok (40-42oC) diikuti kematian yang terjadi dalam waktu 24-48 jam. Sedangkan salmonelosis bentuk enteritis akut ditandai dengan kenaikan suhu tubuh 40-41oC serta diare yang sifatnya cair, hilangnya nafsu makan, frekuensi pulsus meningkat, kenaikan frekuensi nafas dan dangkalnya pernafasan. Pada sapi yang sedang berproduksi, salmonelosis dapat mengakibatkan terhentinya produksi susu (Subronto., 2003).
Patologi Anatomi; Pada salmonelosis bentuk septisemik perakut ditemukan tanda-tanda sepsis dan bentuk perdarahan titik dilapisan sub-mukosa dan sub-serosanya. Pada bentuk enteritis akut gambaran radang ditemukan pada usus besar maupun usus halus berupa perdarahan titik atau radang hemoragik yang difus. Kelenjar limfa usus mengalami pembesaran bersifat oedematous atau hemoragik. Pada bentuk kronik, sekum dan kolon penderita mengalami radang nekrosis dan permukaan radang tertutup oleh lapisan granulomatous berwarna kuning abu-abu (Subronto., 2003).
Diagnosis; Pada penderita yang masih hidup diagnosis secara pasti sulit dilakukan meskipun pada bedah bangkai dapat diisolasi kuman salmonela. Dalam menentukan diagnosis perlu dipertimbangkan dengan penyakit-penyakit lain terutama koksidiosis dan colibasilosis. Penentuan diagnosis pasca mati yang paling baik dilakukan dengan jalan pemeriksaan preparat tempel tebal dari mukosa kantong empedu (Subronto., 2003).


SISTEM RESPIRATORIK
1. Septisemia Ezizootika (SE)
Etiologi; Septisemia epizootika merupakan bentuk khusus dari pasteurelosis. SE disebabkan oleh Pateurella multocida serotipe B:2 di Asia, di Afrika disebabkan oleh P. multocida serotipe E:2. Penyakit SE terdapat di semua wilayah tropis dan sub-tropis. Apabila kejadian SE klinis timbul, yang berasal dari infeksi dari dalam maupun luar, sejumlah besar kuman pasteurella akan dibebaskan ke tempat sekitarnya dan dapt hidup untuk waktu relative panjang, lebih kurang 1 minggu, yang kemudian dapat menulari hewan di sekitarnya. Kuman pasteurella tidak dapat tinggal lama di dalam air maupun tanah. Kebanyakan wabah di Asia terjadi pada musim hujan meskipun kematian dapat terjadi setiap sepanjang tahun (Subronto., 2003).
Patogenesis; Infeksi berlangsung melalui saluran pencernaan dan pernafasan. Pembengkakan daerah tekak merupakan gejala awal dari penyakit. Gejala-gejala bersifat lesi dan konsisten dengan kerjaan endotoksin yang ditemukan dalam jumlah banyak dan berbentuk lipopolisakarida. Pada hewan yang rentan kematian dapat terjadi dalam waktu 24 jam (Subronto., 2003).
Gejala-gejala; Penyakit ini dztandai dengan salvias serta demam yang mencapai 40-41ºC. pada waktu penyakit berbaring hewan terlihat berbaring, malas bergerak, serta mengalami kesukaran bernafas. Tenggorokan ditandai dengan busung meluas ke daerah leher bagian ventral sampai ke gelambir dan kadang-kadang juga ke satu atau dua kaki bagian depan. Fibrinogen darah meningkat semenjak gejala mulai Nampak (Subronto., 2003).
Patologi-Anatomis; Adanya busung pada glottis dan jaringan perilaringeal maupun peritracheal. Terdapat cairan di dalam rongga dada dan pericardium dalam jumlah yang tidak begitu berlebihan. Perdarahan titik, petechiae ditemukan pada atrium di bagian bawah epikardium. Oedem, maupun perubahan radang pada paru-paru dalam berbagai tingkatan. Kelenjar limfe di dalam rongga dada perut nampak mengalami bendungan (Subronto., 2003).
Diagnosa; Kasus yang tidak disertai dengan pembengkakan daerah tekak dan leher dapat terkacaukan dengan kasus anthraks, sampar sapi atau pasteurellosis yang disebabkan oleh kuman lain. Pasteurella dapat ditemukan pada sediaan apus darah atau eksudat jaringan yang mengalami perubahan patologik, misalnya cairan busung, cairan pericardium, dan lainnya.
Dalam agar triptosetripton yang ditambah dengan yeast extract, koloni kuman dapat terbentuk . uji presipitasi secara agar gel double diffusion dan teknik fluoresen antibody telah digunakan dalam penentuan diagnosis (Subronto., 2003).
Pengendalian; Vaksin aerosol yang disemprotkan melalui lubang hidung hewan (nasal-spray) vaksin dipersiapkan dari galur B:3,4, dan merupakan kuman hidup yang dilemahkan (Subronto., 2003).


2. Infectious Coryza
Etiologi; Penyakit ini disebabkan oleh Haemophilus paragallinarum, bakteri gram-negatif, berbentuk batang pendek, tercat polar, non-motil, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob dan membutuhkan factor – V (Tabbu., 2000).
Patogenesis; Ayam yang menderita infeksi kronis atau carrier merupakan sumber utama penularan penyakit. Penyakit ini terutama ditemukan pada saat pergantian musim atau berhubungan dengan adanya berbagai jenis stress, misalnya akibat cuaca, lingkungan kandang, nutrisi, dan perlakuan vaksinasi serta penyakit imunosupresif. Penuaran secara tidak langsung dapat terjadi melalui kontak pakan atau berbagai bahan lain, alat peternakan ataupun pekerja yang tercemar bakteri penyebab penyakit ini, Penularan melalui udara juga dapat terjadi (Tabbu., 2000).
Gejala Klinis; Infectious coryza dapat ditemukan pada ayam semua umur. Ayam dewasa cenderung lebih peka disbanding dengan ayam muda. Gejala awal adalah bersin, diikuti eksudat sampai mukoid dari rongga hidung ataupun mata. Jika eksudat berlanjut maka eksudat tersebut dapat menjadi mukopururlen sampai purulen dan berbau busuk dan bercampur dengan kotoran/sisa pakan. Kmpulan eksudat tersebut akan menyebabkan pembengkakan di daerah fasial dan sekitar mata serta kelopak mata kemerahan (Tabbu., 2000).
Jika saluran pernafasan bagian bawah terkena, maka akan terdengar suara ngorok yang halus yang terdengar pada malam hari. Mengalami gangguan nafsu makan dan penuruna produksi telur, diare, morbiditas tinggi tetapi mortalitas rendah (Tabbu., 2000).
Perubahan Patologik; Penyakit ini mmneyebabkan keradangan kataralis akut pada membrane mukosa cavum nasi dan sinus, ditemukan adnaya konjungtivitis kataralis dan edema sub-kutan pada daerah fasialis dan pial. Perubahan istopatologik pad cavum nasi, sinus infraorbitalis dan trakea meliputi deskuamasi, desintegrasi dan hyperplasia lapisan mukosa dan glandularis; edema, hipermia, infiltrasi heterofil, mast cell dan makrofag di daerah tunika propria (Tabbu., 2000).
Diagnosis; Diagnosis pasti dapat dilakukan dengan isolasi dan identifikasi kuman dari kasus stadium akut, inokulasi pada ayam yang sensitive menggunakan eksudat dari ayam sakit. Uji agar presipitation (AGP), uji hemaglutinasi inhibis (HI), uji hemaglutinasi (HA) tidak langsung dan fluorescent antibody (FA) langsung (Tabbu., 2000).
Pengendalian; Menghindari membawa pullet atau ayam lain yang mungkin terinfeksi/membawa kuman Haemophillus paragallinarum ke dalam lokasi peternakan yang tidak terinfeksi. Penyakit ini dapat dicegah dengan pemberian vaksin inaktif disekitar umur 8-11 minggu dan 3-4 minggu sebelum produksi (Tabbu., 2000).


SISTEM REPRODUKSI
1. Bruselosis
Etiologi; Penyakit ini di sebabkan oleh Brucella abortus yang menyerang sapi. Cara penularan yang paling banyak adalah melalui air atau pakan yang tercemar oleh selaput janin atau cairan yang keluar dari rahim yang menderita infeksi. Ada pula penularan melalui air susu (Subronto., 2003). Brucellosis pada anjing disebabkan oleh bakteri Brucella canis, karakteristiknya terjadi abortus dan infertilitas pada hewan betina, epididimitis dan atropi testis pada jantan. Brucella canis ditransmisikan secara seksual dengan perkawinan dari jantan dan betina terinfeksi. Brucella canis pada anjing betina akan hidup di vagina dan jaringan uterin serta sekresi selama bertahun-tahun. Pada hewan jantan, bakteri Brucella hidup di testis dan cairan seminalis. Jantan terinfeksi sama bahayanya dengan hewan betina, hewan jantan dapat menyebarkan bakteri Brucella melalui urine atau semen. Sering tidak ada gejala kecuali pada kasus yang berlanjut, ukuran testis tidak sama (Tilley and Smith., 2004).
Patogenesis; Dalam percobaan dengan infeksi buatan, basil diberikan melalui mulut pada mulanya akan ditemukan pada kelenjar-kelenjar limfe di daerah kepala dan usus untuk memperbanyak diri kemudian menuju saluran limfe efferent lalu masuk ke dalam aliran darah. Dalam darah basil akan termakan oleh fagosit terikat yang terdapat di dalam darah, limpa, dan kelenjar limfe. Pada hari ke-16 kuman ini dapar ditemukan pada seluruh kelenjar limfe seluruh tubuh (Subronto., 2003).
Gejala klinis; Keluron pada masa bunting, retensi membran janin dan metritis merupakan hal yang ditemukan setelah keguguran janin (Subronto., 2003).
Diagnosa
Uji Aglutinasi Serum (SAT)
Uji aglutinasi pada sapi digunakan untuk mengenali IgM. Antigen yang digunakan dalam uji aglutinasi dibakukan terhadap standar internasional anti serum Brucella abortus yang menghasilkan aglutinasi 50% apabila direaksikan dengan antibodi yang mengandung 1,54 I.U tiap ml. Dengan mengguanakan antigen yang menghasilkan titer 1:500 pada reaksi dengan serum referensi (aglutinasi 50%). Hasil uji aglutinasi serum harus dinyatakan dalan unit internasional. Menurut FAO nilai diagnostik minimum adalah 100 I.U./ml untuk satu sapi yang tidak divaksin dan 200 I.U untuk sapi-sapi yang divaksin dengan Str.19 pada umur 8 bulan atau kurang (Subronto., 2003).
Complement Fixation Test
Uji ikat komplemen ini memiliki ketepatan dan kepekaan yang lebih besar dari uji aglutinasi serum. Serum yang tercemar baik secara bakteriologi maupun kimiawi dapat mengikat komplemen tanpa adanya antigen hingga dalam reaksi uji komplemen menghasilkan uji reaksi yang palsu. Saat ini, CFT dilakukan dalam volume mikro dengan pelat plastik yang hanya sekali pakai. Uji ikat komplemen sangat berguna untuk membedakan reaksi antibodi setelah vaksinasi yang belum lama dilakukan dengan reaksi tubuh terhadap infeksi, uji ini juga sangat berguna untuk menentukan status hewan-hewan yang tertular secara kronik (Subronto., 2003).
Rose Bengal Test
Antigen uji rose bengal terdiri atas sel-sel brucella yang diwarnai dengan rose bengal dan kemudian disuspensikan dalam larutan penyangga pada pH 3,6. Uji dilakukan pada suhu ruangan pada pelat yang digoyang-goyangkan dengan mesin atau secara manual selama 4 menit dengan menggunakan serum dan antigen yang jumlahnya sama. Reaksi yang diamati diberi nilai dalam empat tingkatan yaitu: mulai dari nol sampai penggumpalan kasar yang sempurna. Pada umumnya RBT dapat mengenali hewan yang tertular secara lebih dini dari pada uji-uji yang lain. Antigen untuk uji ini harus disimpan dalam lemari es dan hanya dikeluarkan secukupnya saja untuk pengujian. Pada suhu 4oC antigen tersebut bersifat stabil untuk masa yang panjang (Subronto., 2003).
Milk Ring Test
Sebagai antigen dalam uji serologi digunakan suspensi kuman Brucella abortus yang telah dimatikan dan diwarnai dengan Hematoksilin agar antigen tersebut tahan lama perlu ditambahkan dengan fenol (Subronto., 2003).
Antigen digunakan untuk mengetahui adanya antibodi terhadap Brucella abortus dalam air susu dan rum atau krim. Reaksi positif tergantung pada dua proses yaitu:
Aglutinin butir-butir lemak yang biasa terdapat dalam air susu. Aglutinin tersebut mampu mengumpulkan atau menyatukan butir-butir lemak yang selanjutnya akan mengapung pada permukaan air susu bila didiamkan.
Sel-sel kuman brucella yang telah diwarnai yang ditambahkan sebagai antigen akan menggumpal bila didalam air susu ditemukan antibodi terhadap Brucella abortus. Sel-sel yang telah diwarnai tersebut kemudian terkumpul dan menempel pada permukaan butir-butir lemak yang kemudian mengapung pada permukaan air susu sebagai lapisan krim yang berwarna (Subronto., 2003).
Uji cincin air susu dapat menghasilkan reaksi positif palsu apabila dilakukan pada:
  • Air susu yang baru saja diambil dari sapi. Untuk pelaksanaan uji air susu harus disimpan dingin selama 12 jam
  • Air susu yang berasal dari sapi yang menderita radang ambing
  • Air susu yang masih mengandung colostrum
  • Air susu yang berasal dari sapi-spi yang dikeringkan pada masa akhir laktasi
  • Air susu yang berasal dari sapi yang tidak tertular yang telah divaksin dengan strain 19 dalam waktu 3 bulan terakhir.
Hasil-hasil negatif palsu diperoleh apabila air susu yang diperiksa disimpan terlalu lama, dipanasi sampai 45oC atau lebih atau telah digojok terlalu kuat (Subronto., 2003).
Antigen yang terdiri atas sel-sel Br. Abortus yang telah diwarnai diteteskan pada suatu contoh air susu sebanyak 1 ml di dalam tabung reaksi yang sempit, kemudian tabung ini ditempatkan di dalam suhu 35 derajat selama 1 jam. Maka jika susu tersebut mengandung zat penolak, zat penolak ini menyebabkan menggumpalnya bakteri- bakteri tersebut. Bakteri- bakteri tersebut naik ke permukaan bersama- sama buih serta merupakan lingkaran yang berwarna ungu kebiruan, maka hasil nya menyatakan bahwa ternak yanjg diambil sampel susunya adalah positif. (Dwidjoseputro, 1998)
Pengendalian; Di negara yang telah maju industri peternakannya sasaran terhadap penyakit bruceliosis adalah pemberantasan penyakit. Pada umumnya disetujui bahwa prinsip uji dan potong merupakan cara terakhir dalam program pemberantasan.Vaksin dapat menurunkan tingkat penyakit (Subronto., 2003).

2. Vibriosis
Etiologi; Infertilitas menular disebabkan oleh dua galur kuman Campylobacter yang khas untuk spesies sapi yaitu Campylobacter fetus var. veneralis dan Campylobacter fetus var. intermidius. Varian lain yang memiliki spektrum atau jangkauan spesies inang yang lebih luas yaaitu Campylobacter fetus var. intestinalis dapat menyebabkan keluron yang bersifat sporadis pada sapi. Dalam keadaan alamiah penularan penyakit dapat terjadi melalui koitus hingga benar-benar merupakan penyakit veneralis. Pada hewan jantan pengidap kuman tersebut dapat ditemukan di preputium, selaput lendir glans penis dan urethra bagian distal. Pada hewan betina tempat infeksi kuman terdapat di dalam lumen saluran alat-alat genital yang tubuler. Infeksi secara kontak tidak pernah terjadi, sapi betina yang rentan, dara maupun sapi tua dapat tertular apabila dilakukan inseminasi buatan dengan mani dingin atau beku yang berasal dari pejantan yang sakit (Subronto., 2003).
Patogenesis; Pada hewan penderita baik jantan maupun betina biasanya penyakit terdapat sebatas pada permukaan selaput lendir saluran kelamin. Sedemikian jauh tidak dikenal perluasan penyakit ke organ-organ tubuh yang lain. Perubahan patologis biasanya bersifat ringan, berupa radang kataral dan infiltrasi limfosit. Kemajiran penderita disebabkan oleh radang endometrium (Subronto., 2003).
Gejala Klinis; Perkawinan berulang kali dengan interval 28-35 hari banyak sapi betina yang menderita menunjukkan tanda estrus dan minta kawin setelah 3-5 bulan dan hanya kira-kira 1/3 yang berhasil bunting setelah dikawinkan dua kali. Kebanyakan hewan betina yang sakit mengalami keluron setelah kebuntingan mencapai umur 5 bulan. Pada dasarnya penyakit vibriosis dapat sembuh dengan spontan (Subronto., 2003).
Diagnosis; Penentuan diagnosis didasarkan atas hasil uji kerokan pada kulup sapi jantan dan kerokan selaput lendir vagina serta pemeriksaan janin yang digugurkan. Uji bakteriologis atas sapi-sapi yang tidak bunting maupun sapi dara dilakukan pada waktu 2 hari sebelum sampai 2 hari sesudah estrus. Antibodi yang terbentuk dalam vagina dapat ditemmukan dalam lendir vagina tersebut. Uji pemeriksaan aglutinin paling baik digunakan untuk pemeriksaan status penyakit pada sekelompok ternak. Dalam uji aglutinin perlu dibedakan antara C. fetus var. veneralis dan C. fetus var. intestinalis. Dalam diagnosis banding perlu diperhatikan penyakit Trichomoniasis yang disebabkan oleh Trichomonas fetus yang sangat mirip dalam gejala klinisnya. Untuk menentukan penyebab kluron hanya dapat dilakukan melalui uji laboratorium janin, selaput-selaput janin, serum induk yang keguguran, dan penelitian terhadap kemih terutama penting untuk membedakan penyakit leptospirosis (Subronto., 2003).
Pengendalian; Vaksinasi dengan vaksin oil-adjuvant yang disiapkan dari varian veneralis dan intermedius (Subronto., 2003).



DAFTAR PUSTAKA


Dwidjoseputro. 1998. Dasar- dasar Mikrobiologi. Jakarta: Djambatan

Subronto., 2003. Ilmu Penyakit Ternak Mamalia I. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Tabbu., C.R. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya, Volume 1. Kanisius. Yogyakarta

Tilley.; Larry., P.; and Smith.; Francis., W.K. 2004. The 5-Minute Veterinary Consult Canine and Feline. 3rd edition. Lippincott Williams & Wilkins. A Wolter Kluwer Company.