Sabtu, 29 Januari 2011

MIKOSIS & MIKOTOKSIKOSIS

LEARNING OBJECTIVE
1) MIKOSIS & MIKOTOKSIKOSIS, MELIPUTI:
  • ETIOLOGI
  • PATOGENESIS
  • GEJALA KLINIS
  • DIAGNOSA
  • PENANGANAN

Mikosis & Mikotoksikosis, Meliputi:
Apergillus sp termasuk dalam ordo; Thallophyta, filum; Eumycophyta, klas: Ascomycetes. Aspergillosis merupakan penyakit pernapasan yang disebabkan oleh jamur dan tersifat oleh adanya gangguan pernafasan yang berat. Penyakit ini disebut juga brooder pneumonia, mycotic pneumonia, dan fungal pneumonia. Infeksi yang disebabkan oleh jamur pada berbagai organ yang dapat menimbulkan penyakit dinamakan mikosis. Berbagai jenis jamur dapat tumbuh pada pakan atau berbagai bahan baku pakan dan menghasilkan toksin (mikotoksin), yang dapat menimbulkan penyakit disebut mikotoksikosis. Aspergillosis bentuk akut dapat ditemukan pada ayam muda dengan morbiditasa & mortalitas ringgi sedangkan bentuk kronis pada ayam tua morbiditas & mortalitas rendah. Factor-faktor pendukung aspergillosis adalah kandang dengan ventilasi yang kurang memadai, kandang berdebu, kandang dengan kelembapan tinggi, dan temperature relative tinggi (> 25ºC), kadar amoniak tinggi, litter basah dan lembap, pakan lembap dan berjamur, penyakit imunosupresif (gumboro), dan temperature pemanas yang rendah pada saat pemeliharaan DOC (Tabbu., 2000).
Syarat tumbuh jamur meliputi beberapa hal seperti; pH 3,8 – 5,6. Suhu optimum; 22 – 30ºC (saprofit), 30 – 37ºC (parasit). Gas; aerobic obligat (kapang), fakultatif (khamir). Peka terhadap cahaya. Kadar gula; 4 – 5%. Karbon; organic. Kerentanan antibiotic; resisten terhadap penisili, tetrasiklin, dan kloramfenikol, peka terhadap griseofulvin (Pelczar., 1986).
Racun (toksikan atau toksik) merupakan bahan padat, cair, atau gas yang dapat mempengaruhi proses kehidupan sel di dalam tubuh hewan/manusia, jika bahan tersebut kontak dengan hewan/manusia. Racun merupakan agen kemoterapeutik yang dapat berasal dari bahan toksik yang berhubungan dengan pakan, bahan toksik yang berhubungan dengan kandang dan litter, keracunan disinfektan dan fumigan, herbisida, insektisida, rodentisida, dan moluskasida, keracunan gas beracun, toksikan asal industri dan fitotoksin (Tabbu., 2002).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan mikotoksin adalah iklim, jenis tanaman, kepekaan tanaman, jenis fungi pencemar, adanya kerusakan mekanik atau kerusakan akibat insekta pada tanaman, penggunaan fungisida pada waktu panen, kondisi penyimpanan, dan cara penanganan pasca panen. Beberapa factor yang menyebabkan mikotoksin sulit dikontrol di Asia, termasuk Indonesia adalah pencemaran mikotoksin yang bersifat multiple, struktur kimia yang sangat stabil, kondisi iklim yang sangat berfluktuatif, dan fasilitas pengeringan, penyimpanan dan mesin giling yang kurang memadai. Penyakit yang ditimbulkan oleh beberapa mikotoksin yang penting pada unggas, meliputi aflatoksin, trikotesen, okratoksin, zearalenon, sitrinin, fumonisin, fusarokromanon, rubratoksin, ergot, moniliformin, oosporein, sterigmatosistin, patulin, dan asam siklopiazonat.

Penyakit yang Disebabkan oleh Aflatoksin
Penyakit yang disebabkan oleh aflatoksin disebut aflatoksikosis. Aflatoksikosi merupakan mikotoksin yang bersifat sangat toksik dan karsinogenik, yang dihasilkan oleh A. flavus, A. parasiticus, dan Penicilum puberulum. Pakan ayam dan bahan baku pakan ayam sangat baik untuk pertumbuhan fungi dan pembentukan aflatoksin. Pencemaran aflatoksin pada makanan dan pakan sering terjadi pada daerah topis dan sub-tropis, karean temperature dan kelembapan pad a daerah tersebut memberikan kondisi yang optimal untuk pertumbuhan fungi. Aflatoksin terdiri dari beberapa jenis, yaitu aflatoksin B1 & B2 yang berwarna biru (B), dan aflatoksin G1 & G2 yang berwarna hijau (G).
Aflatoksin B1 merupakan jenis yang paling toksik dan memepunyai efek primer yang bersifat hepatotoksik pada berbagai jenis hewan, termasuk ayam. Keracunan aflatoksin dapat menimbulkan tumor pada kandung empedu, pancreas, saluran urinarius, dan tulang. Aflatoksin B1 merupakan metabolit yang paling sering menimbulkan tumor dan dapat di temukan pada bungkil kacang tanah, jagung , biji kapas, dan berbagai jenis biji-bijian, dan minyak nabati.
Aflatoksin bersifat imunosupresif dan karsinogenik; aflatoksin B1 dengan kadar 1,0 ppm atau lebih dapat menimbulkan sejumlah morbiditas dan mortalitas. Jika kadar aflatokisn B1 mencapai 500 – 1000 ppb maka dapat menimbulkan hambatan pertumbuhan dan penurunan efisiensi pakan dan jika kadar bahan tersebut diantara 200 – 500 ppb, maka dapat terjadi efek imunosupresif (Tabbu., 2002).

Etiologi
Aspergillosis pada unggas terutama disebabkan Aspergillus flavus, A. terrus, A. glaucus, A. nidulans, A. niger, A. amstelodami, dan A. nigrescens. Struktur reproduksinya (konidia) dapat tersebar di udara pada berbagai lingkungan. Spora Aspergillus. sp dapat sangat tahan pada berbagai lingkungan (Tabbu., 2000).

Patogenesis
Rute utama jalannya aspergillosis adalah dengan cara menghirup spora dalam jumlah yang banyak, juga dapat melalui telur dan dapat menyebabkan penurunan daya tetas serta peningkatan kematian embrio. DOC dan anak ayam umur 2 hari dapat di infeksi secara buatan dengan spora A. fumigatus melalui pencemaran incubator. Anak aam umur > 3 hari ternyata tahan terhadap infeksi buatan dengan spora (Tabbu., 2000).

Gejala klinis
Masa inkubasi aspergillosis sekitar 4 – 10 hari dan proses penyakit dapat berlangsung sekitar 2 sampai beberapa minggu, yang dapat ditemukan dalam benuk akut dan kronis.
Bentuk Akut
  • Kesulitan (dyspnoe)
  • Kehilangan nafsu makan
  • Mengantuk
  • Peningkatan frekuensi pernapasan
  • Paralisis
  • Kejang-kejang
  • Jika disertai penyakit yang lain seperti chronic respiratory disease (CRD), infectious bronchitis (IB), dan lain-lain maka akan terdengar suar ngorok.
Bentuk Kronis
  • Kehilangan nafsu makan
  • Bernapas dengan mulut
  • Emasiasi
  • Sianosis (kebiruan pada kulit di daerah kepala dan jengger), dan dapat berakhir kematian (Tabbu., 2000).
Diagnosa
Perubahan Makroskopik
Lesi awal meliputi nodule kaseus kecil berwarna kekuningan di daerah jaringan paru. Kadang ditemukan adanya ascites yang tercampur cairan berwarna merah, plaque akan terhat lebih besar dan meningkat jumlahnya pada permukaan kantong udara dan kerapkali membentuk agregat. Organism tersebut biasanya mengalami sporulasi pada permukaan lesi kaseus dan permukaan kantong udara menebal, ditandai adanya pertumbuhan jamur yang berwarna kelabu-kehijauan. Pada flamingo, dapat juga ditemukan adanya suatu selaput yang mengandung mycelia yang menutupi mukosa bronki, disamping adanya nodule pada paru. Pada siring, kadang-kadang ditemukan adanya eksudat kaseus dan mycelia, yang bercampur dengan eksudat mukopurulen. Pada brooder pneumonia, akan ditemukan adanya mikroabses pada jaringan paru. Aspergillosis bentuk sistemik dapat menunjukkan adanya lesi pada hati, usus, dan otak.

Perubahan Mikroskopik
Lesi pada stadium awal tersifat oleh adanya timbunan limfosit, sejumlah makrofag, dan beberapa giant cell, yang bersifat fokal. Pada stadium selanjutnya, maka lesi akan berkembang menjadi granuloma yang terdiri atas daerah nekrosis sentral yang mengandung heterofil dan dikelilingi oleh makrofag, giant cells, limfosit, dan sejumlah jaringan ikat. Pada pengecatan Periodic Acid Schiff (PAS) Reaction, dapat dubuktikan adanya hyphae di daerah jaringan nekrosis (Tabbu., 2000).

Penanganan
Pengamanan biologis yang ketat dan pelaksanaan aspek manajemen lainnya secara optimal diperlukan untuk menghilangkan factor pendukug sumber infeksi aspergillosis. Kualitas litter dan pakan supaya dijaga ketat, terutama terhadap kelembapan dan pencemaran oleh jamur. Kandang dan perlengkapannya (tempat pakan & minum), gudang penyimpanan pakan/bahan baku pakan, dan litter supaya disanitasi/didesinfeksi dengan bahan anti jamur, misalnya nistatin atau larutan CuSO4. Pemeriksaan laboatorik kemungkinan adanya pencemaran jamur pada peralatan dan lingkungan inkubator secara periodik. Sanitasi telur juga perlu dilakukan untuk mencegah pencemaran Aspergillus sp (Tabbu., 2000).



DAFTAR PUSTAKA


Tabbu., C.R. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya, Volume 1. Kanisius. Yogyakarta. Hal. 142 – 150

Tabbu., C.R. 2002. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya, Volume 2. Kanisius. Yogyakarta. Hal. 164 – 166 & 191

Pelczar., M.J.; Chan., E.C.S.; Pelczar., M.F.; Terjemahan Hadioetomo., et all. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi. UI press. Jakarta. Hal. 199

Quinn., P.J,; Markey., B.K,; Carter., M.E,; Donnely., W.J.C.; Leonard., F.C.; Maghire., D. 2002. Veterinary Microbiollogy and Microbial Disease. Blackwell Science.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar